Senin, 20 Januari 2014

Do'a Budak Hitam yang senantiasa Terkabul

Setiap Kali Teringat Dia, Dunia Ini Terasa
Tidak Ada Harganya
Setiap Kali Teringat Dia,
Dunia Ini Terasa Tidak Ada Harganya
Kisah Yang Menakjubkan Tentang Ikhlash
Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan
kisahnya:
“Saya tiba di Mekkah ketika manusia ditimpa
paceklik dan mereka sedang melaksanakan shalat
istisqa’ di Al-Masjid Al-Haram. Saya bergabung
dengan manusia yang berada di dekat pintu Bani
Syaibah. Tiba-tiba muncul seorang budak hitam
yang membawa dua potong pakaian yang terbuat
dari rami yang salah satunya dia jadikan sebagai
sarung dan yang lainnya dia jadikan selendang di
pundaknya. Dia mencari tempat yang agak
tersembunyi di samping saya. Maka saya
mendengarnya berdoa, “Ya Allah, dosa-dosa yang
banyak dan perbuatan-perbuatan yang buruk
telah membuat wajah hamba-hamba-Mu menjadi
suram, dan Engkau telah menahan hujan dari
langit sebagai hukuman terhadap hamba-hamba-
Mu. Maka aku memohon kepada-Mu wahai Yang
pemaaf yang tidak segera menimpakan adzab,
wahai Yang hamba-hamba-Nya tidak
mengenalnya kecuali kebaikan, berilah mereka
hujan sekarang.”
Dia terus mengatakan, “Berilah mereka hujan
sekarang.” Hingga langit pun penuh dengan awan
dan hujan pun datang dari semua tempat. Dia
masih duduk di tempatnya sambil terus bertasbih,
sementara saya pun tidak mampu menahan air
mata. Ketika dia bangkit meninggalkan tempatnya
maka saya mengikutinya hingga saya mengetahui
di mana tempat tinggalnya. Lalu saya pergi
menemui Fudhail bin Iyyadh. Ketika melihat saya
maka dia pun bertanya, “Kenapa saya melihat
dirimu nampak sangat sedih?” Saya jawab,
“Orang lain telah mendahului kita menuju Allah,
maka Dia pun mencukupinya, sedangkan kita
tidak.” Dia bertanya, “Apa maksudnya?” Maka
saya pun menceritakan kejadian yang baru saja
saya saksikan. Mendengar cerita saya, Fudhail
bin Iyyadh pun terjatuh karena tidak mampu
menahan rasa haru. Lalu dia pun berkata, “Celaka
engkau wahai Ibnul Mubarak, bawalah saya
menemuinya!” Saya jawab, “Waktu tidak cukup
lagi, biarlah saya sendiri yang akan mencari berita
tentangnya.”
Maka keesokan harinya setelah shalat Shubuh
saya pun menuju tempat tinggal budak yang saya
lihat kemarin. Ternyata di depan pintu rumahnya
sudah ada orang tua yang duduk di atas sebuah
alas yang digelar. Ketika dia melihat saya maka
dia pun langsung mengenali saya dan
mengatakan, “Marhaban (selamat datang –pent)
wahai Abu Abdirrahman, apa keperluan Anda?”
Saya jawab, “Saya membutuhkan seorang budak
hitam.” Dia menjawab, “Saya memiliki beberapa
budak, silahkan pilih mana yang Anda inginkan
dari mereka?” Lalu dia pun berteriak memanggil
budak-budaknya. Maka keluarlah seorang budak
yang kekar. Tuannya tadi berkata, “Ini budak yang
bagus, saya ridha untuk Anda.” Saya jawab, “Ini
bukan yang saya butuhkan.”
Maka dia memperlihatkan budaknya satu persatu
kepada saya hingga keluarlah budak yang saya
lihat kemarin. Ketika saya melihatnya maka saya
pun tidak kuasa menahan air mata. Tuannya
bertanya kepada saya, “Diakah yang Anda
inginkan?” Saya jawab, “Ya.” Tuannya berkata
lagi, “Dia tidak mungkin dijual.” Saya tanya,
“Memangnya kenapa?” Dia menjawab, “Saya
mencari berkah dengan keberadaannya di rumah
ini, di samping itu dia sama sekali tidak menjadi
beban bagi saya.” Saya tanyakan, “Lalu dari
mana dia makan?” Dia menjawab, “Dia
mendapatkan setengah daniq (satu daniq =
sepernam dirham –pent) atau kurang atau lebih
dengan berjualan tali, itulah kebutuhan makan
sehari-harinya. Kalau dia sedang tidak berjualan,
maka pada hari itu dia gulung talinya. Budak-
budak yang lain mengabarkan kepadaku bahwa
pada malam hari dia tidak tidur kecuali sedikit.
Dia pun tidak suka berbaur dengan budak-budak
yang lain karena sibuk dengan dirinya. Hatiku pun
telah mencintainya.”
Maka saya katakan kepada tuannya tersebut,
“Saya akan pergi ke tempat Sufyan Ats-Tsaury
dan Fudhail bin Iyyadh tanpa terpenuhi kebutuhan
saya.” Maka dia menjawab, “Kedatangan Anda
kepada saya merupakan perkara yang besar,
kalau begitu ambillah sesuai keinginan Anda!”
Maka saya pun membelinya dan saya
membawanya menuju ke rumah Fudhail bin
Iyyadh.
Setelah berjalan beberapa saat maka budak itu
bertanya kepada saya, “Wahai tuanku!” Saya
jawab, “Labbaik.” Dia berkata, “Jangan katakan
kepada saya ‘labbaik’ karena seorang budak yang
lebih pantas untuk mengatakan hal itu kepada
tuannya.” Saya katakan, “Apa keperluanmu wahai
orang yang kucintai?” Dia menjawab, “Saya orang
yang fisiknya lemah, saya tidak mampu menjadi
pelayan. Anda bisa mencari budak yang lain yang
bisa melayani keperluan Anda. Bukankah telah
ditunjukkan budak yang lebih kekar dibandingkan
saya kepada Anda.” Saya jawab, “Allah tidak
akan melihatku menjadikanmu sebagai pelayan,
tetapi saya akan membelikan rumah dan
mencarikan istri untukmu dan justru saya sendiri
yang akan menjadi pelayanmu.”
Dia pun menangis hingga saya pun bertanya,
“Apa yang menyebabkanmu menangis?” Dia
menjawab, “Anda tidak akan melakukan semua ini
kecuali Anda telah melihat sebagian hubunganku
dengan Allah Ta’ala, kalau tidak maka kenapa
Anda memilih saya dan bukan budak-budak yang
lain?!” Saya jawab, “Engkau tidak perlu tahu hal
ini.” Dia pun berkata, “Saya meminta dengan
nama Allah agar Anda memberitahukan kepada
saya.” Maka saya jawab, “Semua ini saya
lakukan karena engkau orang yang terkabul
doanya.” Dia berkata kepada saya,
“Sesungguhnya saya menilai –insya Allah– Anda
adalah orang yang saleh. Sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba pilihan
yang Dia tidak akan menyingkapkan keadaan
mereka kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang
Dia cintai, dan tidak akan menampakkan mereka
kecuali kepada hamba yang Dia ridhai.” Kemudian
dia berkata lagi, “Bisakah Anda menunggu saya
sebentar, karena masih ada beberapa rakaat
shalat yang belum saya selesaikan tadi malam?”
Saya jawab, “Rumah Fudhail bin Iyyadh sudah
dekat.” Dia menjawab, “Tidak, di sini lebih saya
sukai, lagi pula urusan Allah Azza wa Jalla tidak
boleh ditunda-tunda.” Maka dia pun masuk ke
masjid melalui pintu halaman depan.
Dia terus mengerjakan shalat hingga selesai apa
yang dia inginkan.
Setelah itu dia menoleh kepada saya seraya
berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, apakah Anda
memiliki keperluan?” Saya jawab, “Kenapa engkau
bertanya demikian?” Dia menjawab, “Karena saya
ingin pergi jauh.” Saya bertanya, “Ke mana?” Dia
menjawab, “Ke akherat.” Maka saya katakan,
“Jangan engkau lakukan, biarkanlah saya merasa
senang dengan keberadaanmu!” Dia menjawab,
“Hanyalah kehidupan ini terasa indah ketika
hubungan antara saya dengan Allah Ta’ala tidak
diketahui oleh seorang pun. Adapun setelah Anda
mengetahuinya, maka orang lain akan ikut
mengetahuinya juga, sehingga saya merasa tidak
butuh lagi dengan semua yang Anda tawarkan
tadi.” Kemudian dia tersungkur sujud seraya
berdoa, “Ya Allah, cabutlah nyawaku agar aku
segera bertemu dengan-Mu sekarang juga!” Maka
saya pun mendekatinya, ternyata dia sudah
meninggal dunia. Maka demi Allah, tidaklah saya
mengingatnya kecuali saya merasakan kesedihan
yang mendalam dan dunia ini tidak ada artinya
lagi bagi saya.”
(Al-Muntazham Fii Taarikhil Umam, karya Ibnul
Jauzy, 8/223-225)
Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?
showtopic=140725
Diterjemahkan oleh: Abu Almass bin Jaman Al-
Ausathy
17 Rabi’ul Awwal 1435 H
Daarul Hadits – Ma’bar – Yaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar