“Pada saat kami dimasjid bersama Rasulullah, tiba-tiba dating seorang
badui, dia berdiri dan kencing di masjid. Para sahabat Rasulullah marah, “Hentikan
! Hentikan ! Rasulullah berkata : “angan kalian hentikan kencingnya, biarkan
dia. Mereka pun membiarannya sampai selesai kencing. Kemudian Rasulullah
memanggilnya dan berkata kepadanya “Sesungguhnya masjid ini tidak pantas untuk
sesuatu apapun dari kencing dan kotoran, sesunggunya ia untuk mengingat Allah
dan Shalat, serta membaca al-Qur’an.
Anas melanjutkan, “Beliau lalu memerintahan
salah seorang syang hadir untuk mengambil satu ember air dan mengguyurnya. (HR.
Muslim dari sahabat Anas bin Malik)
Dalam riwayat
Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah terdapat tambahan, anas berkata ; “Setelah
paham, orang badui tersebut berkata, Nabi bangkit berjalan ke arahku, bapak dan
ibuku sebagai jaminannya, beliau tidak mencaci, tidak ngomel dan tidak memukul.
Dalam ksah ini terdapat
keteranan bagaimana sikap lembut Rasulullah kepada badui tersebut dan
mengajarkan sahabat untuk bersikap lemah-lembut kepada orang yang jahil, karena
boleh jadi apa yang dilakukannya benar mengingat sudah menjadi tabiat dan kebiasaan
orang padang pasir. Maka tidak ada yang keluar dari mulut Nabi kata-kata
cician, makian dan menjelek-jelekan atau pukulan. Tapi Nabi memanggilnya dengan
panggilan yang halus da mengajarinya dengan penuh kelembutan tentang perkara
yang tidak diketahui. Hal ini pula menjadi pelajaran berharga untuk para
sahabat Nabi untuk tidak mencai, memaki atau menjelek-jelekan orang yang tidak
tahu.
Maka lihatlah bagaimana efek kelembutan
Nabi dalam peristiwa ini hingga orang badui menuturkan tentang kelembutan sikap
Nabi setelah ia paham : “Bapak dan ibuku sebagai jaminannya, dia tidak mencaci,
tidak mengomel dan tidak memukul”. Sehingga dalam ucapan ini terlihat jelas
kesan simpatik dari sikap lemahlembut dan cara pengajarannya yang baik padanya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani
berkomentar setelah membaca hadits ini, “Di dalamnya terdapat pelajaran untuk
bersikap lembut kepada orang jahil dan mengajarinya sesuatu yang patut banginya
tanpa kekerasan, jika hal itu bukan dilator belakangi oleh kesombongannya,
terlebih jika dia termasuk orang yang butuh untuk dilembuti. Di dalamnya
terlihat sifat kasih saying Nabi dan akhlaknya yang baik.” (Fathul Qodir,
1/388)
Maka selayaknya bagi seorang
guru, da’I, mubaligh dan kiyai untuk menyikapi seorang murid atau masyarakat
dengan sikap lemah lemut. Dan untuk
mengetahui latar belakang orang yang salah. Sehingga tidak terlihat menghakimi
serta menjastifikasi. Maka ketika kita melihat kesalahan orang, maka lihatlah
dengan mata lemah lembut sebagaimana Nabi mengajarkan dalam peristiwa diatas. Wallahu
A’lam