.
Orang yang Terasing (الغرباء)
Senin, 17 Agustus 2015
ORTU ADALAH GURU
.
Senin, 25 Agustus 2014
EFEK KESHALIHAN GURU PADA MURID….
Rabu, 29 Januari 2014
Jaga Imanmu sampai mati
Diantara rangkaian ketaatan seorang hamba kepada Rab-nya yg paling sukar bukanlah terletak pada ibadah yg kita sempurnakan dari sholat hingga haji ataupun umrah
Tetapi yg paling sulit serta sukar justu bagaimana menjadikan senantiasa iman serta ketaaatan yang kita miliki hari ini menjadi iman dihari ketika kita meninggal dunia menghadap-Nya,krna taat bukanlah sesaat tapi ia adalah proses terus tanpa cuti
Goresan sejarah mencatat manusia2 yg mulanya bertabur dg iman tapi ketika meninggal,mati dalam keadaan tragis tanpa iman,alias murtad,sebgaimana bal'am bin baura pemuda sholeh di zaman nabi musa alaihis salam kesholehan awal hidupnya tapi mati tragis na'as mnjadi murtad.
Pada zaman Rasul terdapat sahabat yg hidup pada ketaqwaan bersama sahabat lainya tapi matinya murtad mengikuti nabi palsu musailamah alkadzab,ia adalah arrojal.
Bahkan ibnu jauzi menuturkan pula tentang sosok bernama abdullah bin abdurrahim seorng penghafal alquran dan mujahid tapi na'as matinya murtad sebagai nashrani karena cinta butanya kpd wanita romawi.
Semua kilasan peristiwa ini menegaskan bahwa tidak ada yg menjamin bahwa iman kita hari ini akan menjadi iman kita pada hari kita meninggal dunia,karena taburan iman hari ini tidak pernah menjadi jaminan iman di hari kematian kita.
Itulah rahasia kenapa dalam syariat penghambaan kita kepada-Nya kita senantiasa diperintahkan untuk selalu istiqomah didalam berdzikir,berdo'a,mengkaji ilmu,berkumpul dg org sholeh,senantiasa membaca quran serta lainya kecuali karena semata2 untuk menjaga hangatnya iman dihati kita sampai kita meninggal. "Dan sembahlah Rabb mu sampai datangnya kematian" (Al Hijr:99)
Doa agar diteguhkan hati diatas hidayah.....
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Artinya:Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kpd kesesatan ses
Andai Aku tidak menikah dengannya
.#Andai Aku Tidak Menikah Dengannya#
Tujuan menikah itu indah, dan semua mengharapkan pernikahan itu indah.
Allah jalla Jalaluhu mengatakan tentang tujuan pernikahan ini dalam firmannya di surat ar-Rum ayat 21
Namun ternyata air laut tidak selalu tenang, kadangkala seorang istri /seorang wanita menikah berharap kebahagiaan, tapi ternyata pernikahannya membawa petaka.
Seorang wanita yang menikah dengan seorang lelaki berharap membangun sebuah surga di rumahnya, akan tetapi ternyata rumahnya menjadi neraka.
Detik-detik timer bom waktu itu terus bergulir dan berputar
Sampai tatkala datang masa 0 Booom (meledak).....
Rumah yang dibangun hancur berkeping-keping dikarenakan kebahagiaan itu sudah hilang dari rumah itu...
Permasalahan yang silih berganti...
Kegundahan yang tiada henti...
Keharmonisan yang telah mati...
Cinta yang hilang dari hati...
Kasih sayang telah berganti...
Derita yang pedih dan nyeri...
Kemana wanita itu harus pergi? Kemana?
Kadang kala dia berkata
“Andai aku tidak menikah dengannya”
Mungkin sebagian dari saudari-saudari kita, tatkala kapal yang ditungganginya sudah tidak lagi layak untuk ditempati, ia kadangkala berkata: Andai aku tidak menikah dengannya
Berandai-andai bukanlah jalan atau solusi, bahkan ia membuka pintu setan
Tapi sudahlah, yang terjadi haruslah dihadapi dgn berusaha, berikhtiar, berupaya dan berdoa kepada Rabbi serta menata hati...
Silahkan menyimak kelanjutan ceramah dan arahan Beliau yg berharga disalamdakwah.com di link http://salamdakwah.com/videos-detail/andai-aku-tidak-menikah-dengannya--.html (PC) atau http://m.salamdakwah.com/videos-detail/andai-aku-tidak-menikah-dengannya--.html (Mobile)
Semoga bermanfaat
Ditulis oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah MA حفظه الله تعالى
Selasa, 21 Januari 2014
Dahsyatnya Istighfar
Dahsyatnya Istighfar
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam banyak ayat-Nya di dalam Al-Quran memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa bertaubat dan beristighfar. Allah pun menamai dan mensifati diri-Nya dengan Al-Ghaffaar, Al-Ghafuur, Ghafirudz dzunub, Dzil maghfirah serta memuji dan menjanjikan pahala yang banyak untuk orang-orang yang senantiasa beristighfar. Semua itu menunjukkan keutamaan istighfar dan butuhnya manusia terhadap istighfar.
Istighfar para Nabi ‘alaihimus salam
Dalam al-Quran, Allah mengisahkan kepada kita bahwa para nabi dahulu adalah orang-orang yang rajin beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. Allah mengisahkan tentang kedua orang tua kita (Adam dan Hawa) berkata:
“Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 23)
Nabi Nuh ‘alaihis salam berkata:
“Dan Sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan Termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Hud: 47)
Nabi Musa ‘alahis salam berkata:
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah Menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Qashash: 16)
Tentang Nabi Dawud ‘alaihis salam Allah mengisahkan:
“Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.” (QS. Shad: 24)
Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata:
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi”
Allah memerintahkan penutup para rasul-Nya:
“…dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)
Dan memerintahkan kita:
“Maka tetaplah pada jalan yang Lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya… “ (QS. Fushshilat: 6)
Dalam hadis qudsi Allah berfirman, “Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya kalian melakukan kesalahan setiap hari dan setiap malam, sementara Aku mengampuni dosa seluruhnya, maka beristighfarlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.”
Faidah Istighfar
Istighfar memiliki banyak faidah. Diantaranya adalah:
1. Sebab diampuni dosa
Hal ini karena diampuni dosa adalah tujuan utama istighfar. Sebagaimana dalam hadis qudsi di atas, “Maka beristighfarlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian”. Begitu juga dalam firman Allah:
“Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan Menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 110)
Dalam hadis qudsi yang lain Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selama engkau memohon dan berharap kepada-Ku, niscaya aku akan mengampuni segala dosamu dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam, andai dosamu mencapai sepenuh langit dan bumi, kemudia engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya aku akan mengampunimu.”
2. Menolak bala dan azab.
Allah berfirman:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS. Al-Anfal: 33)
3. Penghapus kesedihan, pengundang rizki dan keluar dari kesulitan.
Dalam sunan Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membiasakan istighfar, maka Allah akan memberikan untuknya jalan keluar dari setiap kesulitan, kelegaan dari setiap kesedihan dan Allah akan mengrunikan rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka.”
4. Sebab turun hujan, banyak harta, anak, tumbuhan dan air.
Allah berfirman tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam:
“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
Dan berfirman tentang Nabi Hud ‘alaihis salam:
“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS. Hud: 52)
Setiap saat beristighfar
Istighfar disyariatkan dalam setiap kesempatan. Namun demikian, ada waktu-waktu khusus dimana istighfar memiliki keutamaan tersendiri. Diantaranya saat selesai melaksanakan ibadah. Fungsi istighfar dalam kesempatan ini untuk menjadi penyempurna bagi kekurangan-kekurangan yang ada di dalam ibadah tersebut. Sebagaimana disyariatkan istighfar setelah selesai menunaikan shalat. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam biasa beristighfar sebanyak tiga kali setelah menunaikan shalat.
Istighfar juga disyariatkan setelah melaksanakan shalat malam. Allah berfirman:
Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. (QS. Adz-Dzariyat: 17-18)
Setelah selesai wakuf di arafah. Allah berfirman:
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 199)
Istighfar disyariatkan ketika menutup majelis. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan ketika kita selesai bermajlis untuk mengucapkan, “Maha suci ya Allah dan dengan mumuji-Mu, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Seyogyianya bagi seorang muslim membiasakan dirinya untuk berisitighfar dalam setiap kesempatan. Terutama pada waktu-waktu yang memiliki kekhususan tadi. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh kami menghitung Rasulullah dalam satu majelis sebanyak seratus kali mengucapkan, “Rabbighfirlii wa tub ‘alayya innaka antat tawwabur rahim.” (Wahai Rabbku ampunilah diriku dan berilah taubat kepadaku, sesungguhnya Engkau Mahapemberi taubat dan Mahapenyayang)
Agar istighfar dapat memupus dosa
Istighfar maknanya adalah meminta maghfirah (ampunan) dengan dihapusnya dosa dan ditutupnya aib. Istighfar harus disertai dengan menjauhi dan berhenti dari dosa dan maksiat yang telah dilakukan. Adapun orang yang beristighfar hanya dalam lisannya, sementara ia tetap dalam kemaksiatan tersebut, maka ia adalah pendusta. Istighfarnya tidak akan bermanfaat. Al-fuhdail bin Iyadh –rahimahullah- berkata, “Istighfar tanpa meninggalkan dosa adalah taubatnya para pendusta.” Juga dikatakan, “Istighfar kita membutuhkan istighfar.” Maksudnya adalah orang yang beristighfar namun tidak meninggalkan dosanya maka ia telah berdosa yang membuthkan istighfar lagi.
Lafadz-lafadz istighfar
Ada beberapa lafadz istighfar yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya adalah:
“Rabbighfirlii wa tub ‘alayya innaka antat tawwabur rahim.”
Wahai Rabbku ampunilah diriku dan berilah taubat kepadaku, sesungguhnya Engkau Mahapemberi taubat dan Mahapenyayang.
“Astaghfirullahal ladzi laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaihi”
Aku memohon ampun kepada Allah yang tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia yang Mahahidup dan Mahaberdiri sendiri.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan sayyidul istighfar (tuannya istiggfar) adalah:
اللّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَاْ عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إَلَّا أَنْتَ
Allaahumma Anta Rabbii laa ilaaha illaa anta, khalaqtanii wa ana ‘abduka, wa ana ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatha’tu, a’uudzu bika min syarri maa shana’tu, abuu`u laka bi ni’matika ‘alayya, wa abuu`u laka bi dzanbii faghfir lii, innahu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta
Ya Allah, engkau adalah Rabb ku tidak ada yang berhak disembah selain engkau, engkau yang telah menciptakanku dan aku adalah hambamu, dan aku berada di atas perjanjian-Mu semampuku, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku perbuat, aku mengakui nikmatmu atas ku dan aku mengakui dosa-dosaku maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain-Mu…
Siapa saja yang mengucapkannya pada siang hari seraya meyakininya, kemudian ia mati sebelum sore, maka ia termasuk penghuni surga. Dan siapa saja yang mengucapkannya pada malam hari seraya meyakininya, kemudian ia mati sebelum pagi, maka ia termasuk penghuni surga (HR Bukhari: 5659)
[Disadur dari buku “Al-Khutab Al-Minbariyyah”, Syaikhuna Shaleh bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan –hafidzahullah]
Senin, 20 Januari 2014
Do'a Budak Hitam yang senantiasa Terkabul
Setiap Kali Teringat Dia, Dunia Ini Terasa
Tidak Ada Harganya
Setiap Kali Teringat Dia,
Dunia Ini Terasa Tidak Ada Harganya
Kisah Yang Menakjubkan Tentang Ikhlash
Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan
kisahnya:
“Saya tiba di Mekkah ketika manusia ditimpa
paceklik dan mereka sedang melaksanakan shalat
istisqa’ di Al-Masjid Al-Haram. Saya bergabung
dengan manusia yang berada di dekat pintu Bani
Syaibah. Tiba-tiba muncul seorang budak hitam
yang membawa dua potong pakaian yang terbuat
dari rami yang salah satunya dia jadikan sebagai
sarung dan yang lainnya dia jadikan selendang di
pundaknya. Dia mencari tempat yang agak
tersembunyi di samping saya. Maka saya
mendengarnya berdoa, “Ya Allah, dosa-dosa yang
banyak dan perbuatan-perbuatan yang buruk
telah membuat wajah hamba-hamba-Mu menjadi
suram, dan Engkau telah menahan hujan dari
langit sebagai hukuman terhadap hamba-hamba-
Mu. Maka aku memohon kepada-Mu wahai Yang
pemaaf yang tidak segera menimpakan adzab,
wahai Yang hamba-hamba-Nya tidak
mengenalnya kecuali kebaikan, berilah mereka
hujan sekarang.”
Dia terus mengatakan, “Berilah mereka hujan
sekarang.” Hingga langit pun penuh dengan awan
dan hujan pun datang dari semua tempat. Dia
masih duduk di tempatnya sambil terus bertasbih,
sementara saya pun tidak mampu menahan air
mata. Ketika dia bangkit meninggalkan tempatnya
maka saya mengikutinya hingga saya mengetahui
di mana tempat tinggalnya. Lalu saya pergi
menemui Fudhail bin Iyyadh. Ketika melihat saya
maka dia pun bertanya, “Kenapa saya melihat
dirimu nampak sangat sedih?” Saya jawab,
“Orang lain telah mendahului kita menuju Allah,
maka Dia pun mencukupinya, sedangkan kita
tidak.” Dia bertanya, “Apa maksudnya?” Maka
saya pun menceritakan kejadian yang baru saja
saya saksikan. Mendengar cerita saya, Fudhail
bin Iyyadh pun terjatuh karena tidak mampu
menahan rasa haru. Lalu dia pun berkata, “Celaka
engkau wahai Ibnul Mubarak, bawalah saya
menemuinya!” Saya jawab, “Waktu tidak cukup
lagi, biarlah saya sendiri yang akan mencari berita
tentangnya.”
Maka keesokan harinya setelah shalat Shubuh
saya pun menuju tempat tinggal budak yang saya
lihat kemarin. Ternyata di depan pintu rumahnya
sudah ada orang tua yang duduk di atas sebuah
alas yang digelar. Ketika dia melihat saya maka
dia pun langsung mengenali saya dan
mengatakan, “Marhaban (selamat datang –pent)
wahai Abu Abdirrahman, apa keperluan Anda?”
Saya jawab, “Saya membutuhkan seorang budak
hitam.” Dia menjawab, “Saya memiliki beberapa
budak, silahkan pilih mana yang Anda inginkan
dari mereka?” Lalu dia pun berteriak memanggil
budak-budaknya. Maka keluarlah seorang budak
yang kekar. Tuannya tadi berkata, “Ini budak yang
bagus, saya ridha untuk Anda.” Saya jawab, “Ini
bukan yang saya butuhkan.”
Maka dia memperlihatkan budaknya satu persatu
kepada saya hingga keluarlah budak yang saya
lihat kemarin. Ketika saya melihatnya maka saya
pun tidak kuasa menahan air mata. Tuannya
bertanya kepada saya, “Diakah yang Anda
inginkan?” Saya jawab, “Ya.” Tuannya berkata
lagi, “Dia tidak mungkin dijual.” Saya tanya,
“Memangnya kenapa?” Dia menjawab, “Saya
mencari berkah dengan keberadaannya di rumah
ini, di samping itu dia sama sekali tidak menjadi
beban bagi saya.” Saya tanyakan, “Lalu dari
mana dia makan?” Dia menjawab, “Dia
mendapatkan setengah daniq (satu daniq =
sepernam dirham –pent) atau kurang atau lebih
dengan berjualan tali, itulah kebutuhan makan
sehari-harinya. Kalau dia sedang tidak berjualan,
maka pada hari itu dia gulung talinya. Budak-
budak yang lain mengabarkan kepadaku bahwa
pada malam hari dia tidak tidur kecuali sedikit.
Dia pun tidak suka berbaur dengan budak-budak
yang lain karena sibuk dengan dirinya. Hatiku pun
telah mencintainya.”
Maka saya katakan kepada tuannya tersebut,
“Saya akan pergi ke tempat Sufyan Ats-Tsaury
dan Fudhail bin Iyyadh tanpa terpenuhi kebutuhan
saya.” Maka dia menjawab, “Kedatangan Anda
kepada saya merupakan perkara yang besar,
kalau begitu ambillah sesuai keinginan Anda!”
Maka saya pun membelinya dan saya
membawanya menuju ke rumah Fudhail bin
Iyyadh.
Setelah berjalan beberapa saat maka budak itu
bertanya kepada saya, “Wahai tuanku!” Saya
jawab, “Labbaik.” Dia berkata, “Jangan katakan
kepada saya ‘labbaik’ karena seorang budak yang
lebih pantas untuk mengatakan hal itu kepada
tuannya.” Saya katakan, “Apa keperluanmu wahai
orang yang kucintai?” Dia menjawab, “Saya orang
yang fisiknya lemah, saya tidak mampu menjadi
pelayan. Anda bisa mencari budak yang lain yang
bisa melayani keperluan Anda. Bukankah telah
ditunjukkan budak yang lebih kekar dibandingkan
saya kepada Anda.” Saya jawab, “Allah tidak
akan melihatku menjadikanmu sebagai pelayan,
tetapi saya akan membelikan rumah dan
mencarikan istri untukmu dan justru saya sendiri
yang akan menjadi pelayanmu.”
Dia pun menangis hingga saya pun bertanya,
“Apa yang menyebabkanmu menangis?” Dia
menjawab, “Anda tidak akan melakukan semua ini
kecuali Anda telah melihat sebagian hubunganku
dengan Allah Ta’ala, kalau tidak maka kenapa
Anda memilih saya dan bukan budak-budak yang
lain?!” Saya jawab, “Engkau tidak perlu tahu hal
ini.” Dia pun berkata, “Saya meminta dengan
nama Allah agar Anda memberitahukan kepada
saya.” Maka saya jawab, “Semua ini saya
lakukan karena engkau orang yang terkabul
doanya.” Dia berkata kepada saya,
“Sesungguhnya saya menilai –insya Allah– Anda
adalah orang yang saleh. Sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba pilihan
yang Dia tidak akan menyingkapkan keadaan
mereka kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang
Dia cintai, dan tidak akan menampakkan mereka
kecuali kepada hamba yang Dia ridhai.” Kemudian
dia berkata lagi, “Bisakah Anda menunggu saya
sebentar, karena masih ada beberapa rakaat
shalat yang belum saya selesaikan tadi malam?”
Saya jawab, “Rumah Fudhail bin Iyyadh sudah
dekat.” Dia menjawab, “Tidak, di sini lebih saya
sukai, lagi pula urusan Allah Azza wa Jalla tidak
boleh ditunda-tunda.” Maka dia pun masuk ke
masjid melalui pintu halaman depan.
Dia terus mengerjakan shalat hingga selesai apa
yang dia inginkan.
Setelah itu dia menoleh kepada saya seraya
berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, apakah Anda
memiliki keperluan?” Saya jawab, “Kenapa engkau
bertanya demikian?” Dia menjawab, “Karena saya
ingin pergi jauh.” Saya bertanya, “Ke mana?” Dia
menjawab, “Ke akherat.” Maka saya katakan,
“Jangan engkau lakukan, biarkanlah saya merasa
senang dengan keberadaanmu!” Dia menjawab,
“Hanyalah kehidupan ini terasa indah ketika
hubungan antara saya dengan Allah Ta’ala tidak
diketahui oleh seorang pun. Adapun setelah Anda
mengetahuinya, maka orang lain akan ikut
mengetahuinya juga, sehingga saya merasa tidak
butuh lagi dengan semua yang Anda tawarkan
tadi.” Kemudian dia tersungkur sujud seraya
berdoa, “Ya Allah, cabutlah nyawaku agar aku
segera bertemu dengan-Mu sekarang juga!” Maka
saya pun mendekatinya, ternyata dia sudah
meninggal dunia. Maka demi Allah, tidaklah saya
mengingatnya kecuali saya merasakan kesedihan
yang mendalam dan dunia ini tidak ada artinya
lagi bagi saya.”
(Al-Muntazham Fii Taarikhil Umam, karya Ibnul
Jauzy, 8/223-225)
Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?
showtopic=140725
Diterjemahkan oleh: Abu Almass bin Jaman Al-
Ausathy
17 Rabi’ul Awwal 1435 H
Daarul Hadits – Ma’bar – Yaman
Selasa, 25 Juni 2013
Makna SUNNI bukan SYI'AH
SUNNI ▬► adalah istilah lain untuk ahlus sunnah
Makna yang lebih luas untuk istilah ahlus sunnah wal jamaah adalah :
▬ mencakup semua orang yang mengaku dirinya sebagai seorang muslim selain Rafidhah (baca:syiah).
_____________________________
YANG DIMAKSUD SUNNI DAN SYI'AH
by: muhammad abduh
Blog Ustadz Aris Munandar,SS, M.A., -hafidzohullah-
SUNNI adalah istilah lain untuk ahlus sunnah, tidak ada perbedaan di antara dua istilah ini.
Akan tetapi,
perlu diketahui bahwa istilah ahlus sunnah mengandung dua makna,
▬ makna luas
▬ dan makna sempit.
►Tentang makna luas dari ahlus sunnah penulis buku al Wajiz fi ‘Aqidah al Salaf al Shalih Ahlis Sunnah wal Jamaah pada halaman 34 mengatakan,
“Sedangkan makna yang lebih luas untuk istilah ahlus sunnah wal jamaah adalah :
▬ mencakup semua orang yang mengaku dirinya sebagai seorang muslim selain Rafidhah (baca:syiah).
Terkadang pula istilah ahlis sunnah digunakan untuk sebagian ahli bid’ah karena mereka bersesuaian dengan ahli sunnah yang murni dalam beberapa permasalahan akidah dan berlawanan dengan akidah aliran-aliran sesat.
Akan tetapi penggunaan istilah ahli sunnah dengan pengertian ini lebih jarang dipergunakan oleh para ulama ahli sunnah karena hanya terbatas pada beberapa permasalahan akidah dan berlawanan dengan beberapa aliran sesat tertentu. Misalnya adalah penggunaan istilah ahli sunnah sebagai lawan dari rafidhah (baca:syiah) terkait masalah khilafah dan sikap terhadap para shahabat Nabi dan perkara akidah lainnya”.
Sedangkan
► pengertian sempit untuk istilah ahli sunnah adalah ahli sunnah ialah :
▬ orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi dan para shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dan meniti jalan mereka baik dalam permasalahan akidah, perkataan dan perbuatan.
▬ Mereka adalah orang-orang yang komitmen untuk mengikuti Nabi dan menjauhi bid’ah.
▬ Mengikuti jalan mereka dalam beragama adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.
Definisi ini disimpulkan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang golongan yang selamat dari kesesatan di dunia dan selamat dari neraka di akherat.
قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
Para shahabat bertanya,
“Siapakah mereka wahai rasulullah?”. Beliau bersabda, “Orang yang mengikuti ajaranku dan shahabatku dalam beragama” (HR Tirmidzi no 2641 dari Abdullah bin ‘Amr, dinilai hasan oleh al Albani).
Abdullah bin Abdul Hamid mengatakan,
“Inilah makna sempit untuk istilah ahli sunnah wal jamaah. Dengan pengertian ini maka semua golongan ahli bid’ah tidak termasuk ahli sunnah” (al Wajiz fi ‘Aqidah al Salaf al Shalih Ahlis Sunnah wal Jamaah hal 33, terbitan Dar ar Royah).
►Perlu diketahui bahwasanya :
sangat tidak layak menyandingkan Islam dengan syiah karena ada perbedaan yang sangat menjolok antara ajaran Islam dan ajaran Syiah. Di antara keyakinan Syiah adalah :
▬ menyakini bahwa al Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin seluruhnya adalah palsu,
▬ mengkafirkan para shahabat,
▬ menuduh ibunda kita Aisyah sebagai seorang pelacur dan lain-lain.
▬▬►Dengan keyakinan-keyakinan semacam jadilah syiah seakan-akan agama tersendiri di luar Islam
[Konsultasi dari Majalah Swara Qur'an]
Source : http://ustadzaris.com/yang-dimaksud-sunni-dan-syiah
Khitan (Sunat) dengan Laser
Jawaban:
Senin, 03 Juni 2013
DERAJAT HADITS DO'A RAJAB, SYA'BAN dan RAMADHAN
Alhamdulillah, tidak lama lagi kita akan menyambut bulan Ramadhan yang mulia. Nah, berkaitan dengan hal ini terdapat sebuah doa yang diamalkan banyak orang, untuk menyambut bulan Rajab dan Sya’ban serta Ramadhan. Doa tersebut berbunyi:
اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان
(Allahumma baarik lana fii Rajaba wa Sya’baana Wa Ballighna Ramadhana)
“Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban. Dan izinkanlah kami menemui bulan Ramadhan”
Demikianlah doanya. Namun ketahuilah doa ini di dasari oleh hadits yang dhaif (lemah). Dengan kata lain, doa ini tidak diajarkan oleh Rasullah Shallallah‘alaihi
Wasallam. Berikut penjelasannya:
Teks Hadits
Hadits ini terdapat dalam Musnad Imam Ahmad (1/256) dengan teks berikut:
حدثنا عبد الله ، حدثنا عبيد الله بن عمر ، عن زائدة بن أبي الرقاد ، عن زياد النميري ، عن أنس بن مالك قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال : اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبارك لنا في رمضان وكان يقول : ليلة الجمعة غراء ويومها أزهر
“Abdullah menuturkan kepada kami: ‘Ubaidullah bin Umar menuturkan kepada kami: Dari Za’idah bin Abi Ruqad: Dari Ziyad An Numairi Dari Anas Bin Malik, beliau berkata: ‘Jika bulan Rajab tiba Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa: Allahumma baarik lana fii Rajaba wa Sya’baana Wa Ballighna Ramadhana, dan beliau juga bersabda: Pada hari Jum’at, siangnya ada kemuliaan dan malamnya ada keagungan”
Takhrij Hadits
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dalam kitab Amalul Yaum Wal Lailah (659) dari jalur riwayat Ibnu Mani’ yang ia berkata: “Ubaidullah bin Umar Al Qowariri mengabarkan kepadaku hadits ini”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman (3/375), dari jalur periwayatan Al Hafidz Abu Abdillah ia berkata, “Abu Bakr Muhammad bin Ma’mal menuturkan kepada kami, Al Fadhil bin Muhammad Asy Sya’rani menuturkan kepada kami, dari Al Qowariri..”.
Hadits ini juga diriwayatkan Abu Nu’aim di kitab Al Hilyah (6/269) dari jalur periwayatan Habib Ibnu Hasan dan Ali bin Harun, mereka berdua berkata: “Yusuf Al Qadhi menuturkan kepada kami: Muhammad bin Abi Bakr menuturkan kepada kami, Zaidah bin Abi Ruqad menuturkan kepada kami hadits ini”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam dalam Musnad Al Bazzar (lihat Mukhtashor Az Zawaid karya Ibnu Hajar Al Asqalani, 1/285) dari jalur periwayatan Ahmad bin Malik Al Qusyairi dari Za’idah.
Status Perawi Hadits
1. Za’idah bin Abi Ruqqad
Imam Al Bukhari berkata: “Hadits darinya mungkar”. Abu Daud berkata: “Aku tidak mengetahui riwayat darinya”. An Nasai berkata: “Aku tidak mengetahui riwayat darinya”. Adz Dzahabi dalam Diwan Adh Dhu’afa berkata: “Hadits darinya bukanlah hujjah”. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Hadits darinya mungkar”
2. Ziyad bin Abdillah An Numairi Al Bishri
Yahya bin Ma’in berkata: “Hadits darinya lemah”. Abu Hatim Ar Razi berkata: “Haditsnya memang ditulis, namun tidak dapat dijadikan hujjah”. Abu Ubaid Al Ajurri berkata: “Aku bertanya pada Abu Dawud tentang Ziyad, dan beliau menganggapnya lemah”. Ad Daruquthi berkata: “Haditsnya tidak kuat”. Ibnu Hajar berpendapat: “Ia lemah”
Pendapat Para Ahli Hadits Tentang Hadits Ini
1. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/375) berkata: “Hadits ini diriwayatkan hanya dari Ziyad An Numairi, ia pun hanya meriwayatkan dari Za’idah bin Abi Ruqad, sedangkan 2. Al Bukhari mengatakan bahwa Za’idah bin Abi Ruqad hadist-nya munkar”.
3. An Nawawi menyatakan dalam Al Adzkar (274): “Kami meriwayatkan hadits ini di Hilyatul Auliya dengan sanad yang terdapat kelemahan”.
4. Syaikh Ahmad Syakir berkata dalam takhrij Musnad Imam Ahmad (4/100-101): “Sanad hadits ini dhaif”.
5. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata dalam takhrij Musnad Imam Ahmad (4/180): “Sanad hadits ini dhaif”
6. Syaikh Al Albani dalam takhrij Misykatul Mashabih (1/432) berkata: “Al Baihaqi menyatakan hadits ini aziz dalam Syu’abul Iman, namun Al Munawi melemahkannya dengan berkata: ‘Secara zhahir memang seolah Al Baihaqi memberi takhrij dan menyetujui keabsahan hadits ini. Namun tidak demikian. Bahkan Al Baihaqi melemahkannya dengan berkata: (beliau membawakan perkataan Al Baihaqi pada poin 1)’”
[Disarikan dari tulisan Syaikh Abdullah bin Muhammad Zuqail di http://www.saaid.net/Doat/Zugail/57.htm]