Rabu, 25 April 2012

Nikahilah Aku Tapi Dengan Syarat Tidak Berpoligami!!

Pertanyaan:
Assalamu'alaykum Warohmatulloh Wabarokatuh

Ustadz firanda yang semoga ustadz dan keluarga mendapat penjagaan dari Allah, ana seorang akhwat yang saat ini sedang melakukan proses ta'aaruf dengan seorang ikhwan yang menuntut ilmu di Universitas Islam Madinah. Pertanyaan ana, mungkin ustadz sudah bisa menebak dari judul/subject message ini, yaitu apa boleh menolak untuk dipoligami ? Apakah seorang wanita boleh memberi syarat kepada seorang lelaki yang hendak menikahinya agar tidak boleh berpoligami?

Ana selama mengaji hampir 2 tahun, mendapat salah satu kaidah yaitu : lebih diutamakan menolak mafsadah (kerusakan) daripada mendapat maslahat (manfaat)'. Ana, jujur merasa berat kalau nanti harus dipoligami ustadz. Tidak hanya masalah perasaan tapi juga dari pihak keluarga ana yang sangat memandang rendah terhadap laki-laki yang beristri lebih dari satu. Selain itu juga, ikhwan yang sedang berproses ta'aruf dengan ana juga belum punya pekerjaan alias hanya mengandalkan uang beasiswanya. Ana takut jika nanti ikhwan tersebut ada niatan untuk poligami dan nekat untuk menikah lagi padahal dari sisi dunia keluarga ana melihat belum mampu/miskin, keluarga besar ana akan melihat betapa jeleknya orang Islam yang hanya memikirkan syahwat dan syahwat tanpa memikirkan bagaimana menafkahi nanti. Ana bukanlah akhwat pondokan dengan background keluarga yang mengenal Islam dengan baik, saudara ana juga ada yang non-Islam. Ana dulu berkuliah dan mengaji di salafy sejak semester 6.

Mohon nasehat dari ustadz, wa Jazaakumullohu Khoyro.
Jawab :
Walaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh. Dari pertanyaan di atas maka jelas bahwa ukhti yang bertanya paham betul akan disyari'atkannya poligami, dan merupakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi pertanyaan ukhti; Bolehkah seorang wanita memberi persyaratan kepada calon suaminya agar tidak berpoligami?

Lantas apakah persayaratan seperti ini tidak melanggar syari'at?

Apakah sang suami kelak wajib memenuhi persyaratan seperti ini?, ataukah boleh melanggar janjinya untuk tidak berpoligami karena ada kemaslahatan yang lain?

Para pembaca yang dirahmati Allah, para ulama dalam buku-buku fikih mereka membedakan antara dua hal :

Pertama : Syarat-syarat sah nikah

Kedua : Syarat-syarat yang dipersyaratkan dalam nikah yang diajukan oleh salah satu dari dua belah pihak calon mempelai.

Adapun hal yang pertama yaitu tentang syarat-syarat sah nikah maka hal ini sudah ma'ruuf seperti : adanya wali dari pihak wanita, keridhoan dua belah pihak calon mempelai, adanya dua saksi, dan tidak adanya penghalang dari kedua belah pihak yang menghalangi pernikahan (seperti ternyata keduanya merupakan saudara sepersusuan, atau karena ada hubungan nasab yang menghalangi seperti ternyata sang wanita adalah putri keponakan calon suami, atau sang wanita adalah muslimah dan sang lelaki kafir, atau sang wanita adalah dari majusiyah, atau sang wanita masih dalam masa 'iddah, atau salah satu dari keduanya dalam kondisi muhrim, dll)

Namun bukan hal ini yang menjadi pembahasan kita, akan tetapi pembahasan kita adalah pada poin yang kedua yaitu tentang seroang wanita yang memberi persyaratan tatkala melangsungkan akad nikah dengan sang lelaki, atau sebaliknya.

Permasalahan ini merupakan salah satu cabang dari permasalahan utama yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu tentang persyaratan yang disyaratkan dalam 'akad-'akad, baik 'akad (transaksi) jual beli maupun 'akad pernikahan. Dan khilaf para ulama tentang hal ini telah dijelaskan dengan sangat panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al-'Qowaa'id An-Nuurooniyah.

Akan tetapi pembicaraan kita terkhususkan kepada permasalahan yang ditanyakan, yaitu apakah boleh bagi sang wanita tatkala akan menikah memberi persyaratan agar sang lelaki tidak berpoligami?

Telah terjadi khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini sebagaimana berikut ini:


Madzhab Hanafi

Adapun Madzhab Hanafi maka mereka membolehkan persyaratan seperti ini. Jika seorang wanita diberi mahar oleh sang calon suami kurang dari mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat maka boleh bagi sang wanita untuk memberi persyaratan, seperti mempersyaratkan bahwa agar ia tidak dipoligami. Dan persyaratan ini diperbolehkan dan dianggap termasuk dari mahar karena ada nilai manfaat bagi sang wanita. Akan tetapi menurut madzhab Hanafi jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar wanita tersebut secara penuh sebagaimana mahar para wanita yang semisalnya menurut adat. (lihat Al-'Inaayah bi syarh Al-Hidaayah 5/10, fathul Qodiir 7/176 maktabah syamilah)


Madzhab Malikiah

Madzhab Maliki memandang bahwa persayaratan seperti ini merupakan persayaratan yang makruh. Dan madzhab Maliki memiliki perincian dalam permasalahan ini, sbb :

-         Persayaratan seperti ini makruuh, dan tidak lazin/harus untuk dipenuhi oleh sang calon suami.

-         Akan tetapi persayaratan ini wajib dipenuhi oleh sang suami jika persayaratannya disertai dengan sumpah dari sang calon suami

-         Jika persyaratan ini diajukan oleh sang wanita dengan menjatuhkan sebagian maharnya maka wajib bagi sang suami untuk memenuhinya. Misalnyan mahar nikah sang wanita adalah 20 juta, lantas sang wanita berkata, "Aku menjatuhkan 5 juta dari maharku dengan syarat sang lelaki tidak boleh berpoligami" lalu disetujui oleh sang lelaki maka wajib bagi sang lelaki untuk memenuhi persyaratan tersebut. Jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar 5 juta tersebut kepada sang wanita. (lihat perincian ini di At-Taaj wa Al-Ikliil 3/513)

-         Bahkan Imam Malik pernah ditanya tentang seorang wanita yang memberi persyaratan kepada calon suaminya, "Jika engkau berpoligami maka hak untuk bercerai ada padaku", kemudian sang lelakipun berpoligami, lantas sang wanitapun menjatuhkan cerai (talak) tiga. Akan tetapi sang suami tidak menerima hal ini dan menganggap hanya jatuh talak satu. Maka apakah jatuh talak tiga tersebut,?, Imam Malik menjawab : "Ini merupakan hak sang wanita, dan adapun pengingkaran sang suami maka tidak ada faedahnya" (lhat Al-Mudawwanah 2/75)


Madzhab As-Syafii

Madzhab As-Syafii membagi persyaratan dalam pernikahan menjadi dua, syarat-syarat yang diperbolehkan dan syarat-syarat yang dilarang.

Pertama : Adapun syarat yang diperbolehkan adalah syarat-syarat yang sesuai dengan hukum syar'i tentang mutlaknya akad, contohnya sang lelaki mempersyaratkan kepada sang wanita untuk bersafar bersamanya, atau untuk menceraikannya jika sang lelaki berkehendak, atau berpoligami. Sebaliknya misalnya sang wanita mempersyaratkan agar maharnya dipenuhi, atau memberi nafkah kepadanya sebagaimana nafkah wanita-wanita yang lainnya, atau mempersyaratkan agar sang lelaki membagi jatah nginapnya dengan adil antara istri-istrinya. Persyaratan seperti ini diperbolehkan, karena hal-hal yang dipersayratkan di atas boleh dilakukan meskipun tanpa syarat, maka tentunya lebih boleh lagi jika dengan persayaratan.

Kedua : Adapun persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat macam:

-         Persyaratan yang membatalkan pernikahan, yaitu persyaratan yang bertentangan dengan maksud pernikahan. Contohnya jika sang lelaki mempersayaratkan jatuh talak bagi sang wanita pada awal bulan depan, atau jatuh talak jika si fulan datang, atau hak talak berada di tangan sang wanita. Maka pernikahan dengan persayaratan seperti ini tidak sah.

-         Persyaratan yang membatalkan mahar akan tetapi tidak membatalkan pernikahan. Contohnya persyaratan dari pihak lelaki, misalnya sang wanita tidak boleh berbicara dengan ayah atau  ibunya atau kakaknya, atau sang lelaki tidak memberi nafkah secara penuh kepada sang wanita. Demikian juga persayaratan dari pihak wanita, misalnya : sang lelaki tidak boleh berpoligami atau tidak boleh mengajak sang wanita merantau. Maka ini seluruhnya merupakan persyaratan yang batil karena mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti ini maka batalah mahar sang wanita yang telah ditentukan dalam akad, dan jadilah mahar sang wanita menjadi mahar al-mitsl (yaitu maharnya disesuaikan dengan mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat istiadat).

-         Persyaratan yang hukumnya tergantung siapa yang memberi persayaratan. Misalnya persyaratan untuk tidak berjimak setelah nikah. Maka jika yang memberi persayratan tersebut adalah pihak wanita maka hal ini haram, karena jimak adalah hak sang lelaki setelah membayar mahar. Dan jika sebaliknya persayaratan tersebut dari pihak lelaki itu sendiri maka menurut madzhab As-Syafii hal tersebut adalah boleh

-         Persyaratan yang diperselisihkan oleh ulama madzhab As-Syafi'i, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan mahar dan nafaqoh. Jika sang wanita mempersyaratkan agar tidak dinafkahi maka pernikahan tetap sah, karena hak nafkah adalah hak sang wanita. Akan tetapi persyaratan ini membatalkan mahar yang telah ditentukan, maka jadilah mahar sang wanita adalah mahar al-mitsl. Akan tetapi jika yang mempersyaratkan adalah dari pihak lelaki maka para ulama madzhab syafii berselisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya batil, dan ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya sah akan tetapi membatalkan mahar yang telah ditentukan bagi sang wanita sehingga bagi sang wanita mahar al-mitsl. (lihat Al-Haawi 9/506-508)


Madzhab Hanbali

Madzhab Hanbali membagi persyaratan dalam nikah menjadi tiga bagian;

Pertama : Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang manfaatnya dan faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang wanita mempersayatkan agar sang suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat ini maka sang wanita berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Al-Khottoob, Sa'ad bin Abi Waqqoosh, Mu'aawiyah, dan 'Amr bin Al-'Aash radhiallahu 'anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)

Kedua : Persyaratan yang batil dan membatalkan persyaratan itu sendiri akan tetapi pernikahan tetap sah, seperti jika sang lelaki mempersyaratkan untuk menikah tanpa mahar, atau tidak menafkahi sang wanita, atau sang wanitalah yang memberi nafkah kepadanya, atau ia hanya mendatangi sang wanita di siang hari saja. Dan demikian juga jika sang wanita mepersyaratkan untuk tidak digauli atau agar sang lelaki menjauhinya, atau agar jatah nginapnya ditambah dengan mengambil sebagian jatah istrinya yang lain. Maka seluruh persyaratan ini tidak sah dan batil (lihat Al-Mughni 7/449)

Ketiga : Persyaratan yang membatalkan akad nikah, seperti pernikahan mut'ah (nikah kontrak sementara setelah itu cerai), atau langsung dicerai setelah nikah, dan nikah syigoor, atau sang lelaki berkata, "Aku menikahi engkau jika ibumu merestui atau si fulan setuju". (lihat Al-Mughni 7/449)

Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa empat madzhab seluruhnya memandang sahnya persyaratan tersebut dan sama sekali tidak merusak akad nikah. Khilaf hanya timbul pada hukum memberi persyaratan ini dari pihak wanita. Madzhab Hanafi dan Hanbali memandang bolehnya persayratatn ini. Madzhab Maliki  memandang makruhnya hal ini. Dan hukum makruh masih masuk dalam kategori halal. Adapun As-Syafii memandang bahwa persyaratan ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan, hanya saja jika terjadi maka persyaratan tersebut tetap tidak merusak akad nikah.


Dalil akan bolehnya persyaratan ini :

Para ulama yang memperbolehkan persyaratan agar sang suami tidak poligami, mereka berdalil dengan banyak dalil, diantaranya:

Pertama : Keumuman dalil-dalil yang memerintahkan seseorang untuk menunaikan janji atau kesepakatan. Seperti firman Allah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS Al-Maaidah :1)

Kedua : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

"Syarat yang palih berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)" (HR Al-Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)

Dan persyaratan untuk tidak berpoligami merupakan persyaratan yang diajukan oleh sang wanita dalam akad nikahnya, sehingga wajib bagi sang lelaki untuk menunaikannya.

Ketiga : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

"Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen), kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram" (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dan jelas bahwasanya seseroang yang menikah dan tidak berpoligami maka hal ini diperbolehkan dan tidak melanggar persyaratan. Maka jika perkaranya demikian berarti persyaratan untuk tidak berpoligami diperbolehkan dan harus ditunaikan oleh sang suami. Adapun persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang haram maka tidak diperbolehkan, seperti seroang wanita yang menikah dengan mempersyaratkan agar calon suaminya menceraikan istri tuanya. Hal ini jelas diharamkan oleh syari'at.

Keempat : Hukum asal dalam masalah akad dan transaksi –jika diridhoi oleh kedua belah pihak- adalah mubaah hingga ada dalil yang mengaharamkan

Adapun dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama yang mengharamkan persyaratan ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ

"Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan"
(HR Al-Bukhari no 2155 dan Muslim 1504)

Akan tetapi maksud dari sabda Nabi ini adalah persyaratan yang tidak dihalalkan oleh Allah. Karena konteks hadits ini secara lengkap menunjukan akan hal ini. Konteks hadits secara lengkap adalah sebagai berikut :

Aisyah berkata :

جَاءَتْنِي بَرِيْرَةُ فَقَالَتْ كَاتَبْتُ أَهْلِي عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ فِي كُلِّ عَامٍ وُقِيَّة فَأَعِيْنِيْنِي، فَقُلْتُ : إِنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أُعِدَّهَا لَهُمْ وَيَكُوْنُ وَلاَؤُكِ لِي فَعَلْتُ. فَذَهَبَتْ بَرِيْرَةُ إِلَى أَهْلِهَا فَقَالَتْ لَهُمْ فَأَبَوْا ذَلِكَ عَلَيْهَا، فَجَاءَتْ مِنْ عِنْدِهِمْ وَرَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَقَالَتْ : إِنّي قَدْ عَرَضْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ الْوَلاَءُ لَهُمْ. فَسَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْ عَائِشَةُ النَّبِيَّ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : خُذيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الْوَلاَءَ فَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ، فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : أَمَّا بَعْدُ، مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْطٍ، قَضَاءُ اللهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللهِ أَوْثَقُ وَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

"Bariroh (seorang budak wanita-pen) datang kepadaku dan berkata, "Aku telah membeli diriku (mukaatabah-pen) dengan harga Sembilan uuqiyah, dan setiap tahun aku membayar satu uqiyah (40 dirham), maka bantulah aku. Maka aku (Aisyah) berkata, "Jika tuanmu suka maka aku akan menyiapkan bayaran tersebut dengan wala'mu pindah kepadaku". Maka pergilah Bariroh kepada tuanya dan menyampaikan hal tersebut, akan tetapi mereka enggan dan bersikeras bahwasanya walaa'nya Bariroh tetap pada mereka. Maka Barirohpun kembali kepada Aisyah –dan tatkala itu ada Rasulullah sedang duduk-, lalu Bariroh berkata, "Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka (tuannya) akan tetapi mereka enggan kecuali walaa'ku tetap pada mereka. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar hal itu (secara global-pen), lalu Aisyah mengabarkan perkaranya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Nabi berkata, "Belilah Bariroh (untuk dibebaskan) dari mereka dan beri persyaratan kepada mereka tentang walaa'nya, karena walaa' adalah kepada orang yang membebaskan". Maka Aisyahpun melakukannya, lalu Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah kemudian berkata, "Amma Ba'du, kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak terdapat di kitab Allah (Al-Qur'an), maka persyaratan apa saja yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an maka merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus persayratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti, sesungguhnya walaa' hanyalah kepada orang yang membebaskan" (HR Al-Bukhari no 2168)

Maka jelaslah dari konteks hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan persyaratan yang terdapat dalam kitab Allah adalah seluruh persyaratan yang diperbolehkan oleh Allah dan RasulNya, dan bukanlah maksudnya persyaratan yang termaktub dan ternashkan dalam Al-Qur'an. Karena permasalahan "Walaa' itu hanya kepada orang yang membebaskan" sama sekali tidak termaktub dalam Al-Qur'an, akan tetapi merupakan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh karenanya persyaratan yang tidak diperbolehkan adalah persyaratan yang tidak terdapat dalam kitab Allah, yang maksudnya adalah seluruh perysaratan yang tidak disyari'atkan dan tidak diperbolehkan dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah.

Inti dalam masalah persyaratan baik dalam pernikahan maupun dalam akad-akad transaksi secara umum adalah : Seluruh persyaratan yang hukum asalnya adalah mubaah maka boleh dijadikan persayratan jika dirihdoi oleh kedua belah pihak. (lihat Al-Qowaad An-Nurroniyah hal 285)

Karenanya pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini –Wallahu A'lam- adalah pendapat madzhab Hambali, bahwasanya persyaratan tersebut diperbolehkan dan wajib untuk ditunaikan oleh suami jika menerima persyaratan tersebut. dan inilah yang telah dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al-Qwaaid An-Nurroniyah dan juga Syaikh Al-Utsaimin (lihat As-Syarh Al-Mumti' 12/164, 167)


Kesimpulan :


Para ulama madzhab telah berselisih yang kesimpulannya sebagai berikut:

-                     Madzhab Hanbali membolehkan persyaratan seperti ini, dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persyaratan tersebut. Dan persyaratan ini sama sekali tidak merusak akad nikah dan juga tidak merusak mahar.

-                     Adapun pendapat Madzhab Hanafi maka persyaratan ini diperbolehkan jika sang wanita menjatuhkan sebagian nilai maharnya. Dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persayaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikannya maka sang wanita mendapatakan mahr al-mitsl

-                     Madzhab Maliki memandang persyaratan ini merupakan persyaratan yang makruh

-                     Adapun pendapat madzhab Syafii maka ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi jika terjadi maka persyaratan tersebut tidak merusak akad nikah, hanya saja merusak mahar yang telah ditentukan, sehingga mahar sang wanita nilainya berubah menjadi mahar al-mitsl.


Dari sini nampak bahwa jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa persyaratan seperti ini (agar sang suami tidak berpoligami) merupakan persayratan yang sah dan diperbolehkan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan :

-         Hendaknya para lelaki yang hendak menikah untuk tidak mengajukan persyaratan ini tanpa dipersyaratkan oleh sang wanita, karena ini merupakan bentuk menjerumuskan diri dalam kesulitan.

-         Demikian juga jika sang wanita mempersyaratkan tidak poligami, maka hendaknya sang lelaki tidak langsung menerima, dan hendaknya ia berpikir panjang. Karena ia tidak tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja nantinya sang wanita sakit sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri sebagaimana mestinya atau hal-hal lain yang nantinya memaksa dia untuk berpoligami. Dan hendaknya sang lelaki ingat bahwa jika ia menerima persyaratan tersebut maka hendaknya ia menunaikannya karena seorang mukmin tidak mengingkari janji dan tidak menyelisihi kesepakatan.

-         Hendaknya para wanita yang memberi persayratan ini jangan sampai terbetik dalam benaknya kebencian terhadap syari'at poligami, hendaknya ia tetap meyakini bahwa poligami adalah disyari'atkan dan mengandung banyak hikmah di balik itu.

-         Hendaknya para wanita tidaklah memberi persyaratan tersebut kecuali jika memang kondisinya mendesak, karena sesungguhnya dibalik poligami banyak sekali hikmah. Dan sebaliknya persyaratan seperti ini bisa jadi membawa keburukan. Bisa jadi sang wanita akhirnya memiliki anak banyak, dan telah mencapi masa monopuse, sedangkan sang suami masih memiliki syahwat dan ingin menjaga kehormatannya, namun akhirnya ia tidak bisa berpoligami. Maka jadilah sang lelaki membenci sang wanita namun apa daya ia tidak mampu untuk berpisah dari sang wanita mengingat kemaslahatan anak-anaknya.

-         Jika akhirnya sang lelaki berpoligami maka sang wanita diberi pilihan, yaitu menggugurkan persyaratannya tersebut dan menerima suaminya yang telah menyelisihi janji sehingga berpoligami ataukah sang wanita memutuskan tali akad pernikahan. Dan terputusnya tali pernikahan disini bukanlah perceraian, akan tetapi akad nikahnya batal. Sehingga jika sang wanita ingin kembali lagi ke suaminya maka harus dengan pernikahan yang baru.

Madinah, 16 05 1432 H / 20 04 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda
www.firanda.com

Wasiat Seorang Ibu Kepada Putrinya Yang Akan Merasakan Mahligai Malam Pertama

Al-'Abaas bin Khoolid As-Sahmi berkata :
"Tatkala 'Amr bin Hajr mendatangi 'Auf bin Mahlam As-Syaibaani untuk melamar putrinya yaitu Ummu Iyaas, maka 'Auf berkata, "Aku akan menikahkan putriku kepadamu dengan syarat aku yang akan memberi nama putra-putranya dan aku yang akan menikahkan putri-putrinya kelak". Maka 'Amr bin Hajr berkata, Adapun putra-putra kami maka kami menamakan mereka dengan nama-nama kami dan nama-nama bapak-bapak kami dan nama-nama paman-paman kami. Adapun putri-putri kami maka yagn akan menikahi mereka adalah yang setara dengan mereka dari kalangan kerajaan, akan tetapi aku akan memberikan kepadanya mahar sebuah bangunan di Kindah, dan aku akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaumnya, tidak seorangpun dari mereka yang akan ditolak hajatnya". Maka sang ayah ('Auf) pun menerima mahar tersebut lalu menikahkan 'Amr dengan putrinya Ummu Iyaas.

Tatkala 'Amar akan membawa sang putri maka datanglah sang ibu menasehati empat mata kepada sang putri seraya berkata:

أَيْ بُنَيَّةِ، إِنَّكِ فَارَقْتِ بَيْتَكِ الَّذِي مِنْهُ خَرَجْتِ، وَعَشِّكِ الَّذِي فِيْهِ دَرَجْتِ، إِلَى رَجُلٍ لَمْ تَعْرِفِيْهِ، وَقَرِيْنٍ لَمْ تَأْلَفِيْهِ، فَكُوْنِي لَهُ أَمَةً يَكُنْ لَكِ عَبْدًا، وَاحْفَظِي لَهُ خِصَالاً عَشْراً يَكُنْ لَكِ ذُخْرَا
"Wahai putriku, sesungguhnya engkau telah meninggalkan rumahmu -yang di situlah engkau dilahirkan dan sarangmu tempat engkau tumbuh- kepada seorang lelaki asing yang engkau tidak mengenalnya dan teman (*hidup baru) yang engkau tidak terbiasa dengannya. Maka jadilah engkau seorang budak wanita baginya maka niscaya ia akan menjadi budak lelakimu. Hendaknya engkau memperhatikan dan menjaga 10 perkara untuknya maka niscaya akan menjadi modal dan simpananmu kelak.
أَمَّا الْأُوْلَى وَالثَّانِيَةُ: فَالْخُشُوْعُ لَهُ بِالْقَنَاعَةِ، وَحُسْنِ السَّمْعِ لَهُ وَالطَّاعَةِ
"Adapun perkara yang pertama dan kedua adalah (1) Tunduk kepadanya dengan sifat qonaah, serta (2) mendengar dan taat dengan baik kepadanya"
وَأَّمَّا الثَّالِثَةُ وَالرَّابِعَةُ: فَالتَّفَقُّدُ لِمَوْضِعِ عَيْنِهِ وَأَنْفِهِ، فَلاَ تَقَعُ عَيْنُهُ مِنْكِ عَلَى قَبِيْحٍ، وَلاَ يَشُمُّ مِنْكِ إِلاَّ أَطْيَبَ رِيْحٍ
"Adapun perkara yang ketiga dan keempat yaitu engkau memperhatikan pandangan dan ciumannya, maka (3) jangan sampai matanya melihat sesuatu yang buruk dari dirimu dan (4) jangan sampai ia mencium darimu kecuali bau yang terharum"
وَأَمَّا الْخَامِسَةُ وَالسَّادِسَةُ: فَالتَّفَقُّدُ لِوَقْتِ مَنَامِهِ وَطَعَامِهِ، فَإِنَّ حَرَارَةُ الْجُوْعِ مُلْهِبَةٌ، وَتَنْغِيْصَ النَّوْمِ مُغْضِبَةٌ
"Adapun perkara yang kelima dan keenam adalah (5 & 6) memperhatikan waktu tidurnya dan makannya, karena panasnya lapar itu membakar dan kurangnya tidur menimbulkan kemarahan"
وَأَمَّا السَّابِعَةُ وَالثَّامِنَةُ: فَالاِحْتِفَاظُ بِمَالِهِ، وَالْإِرْعَاءُ عَلَى حَشْمِهِ وَعِيَالِهِ، وَمِلاَكُ الْأَمْرِ فِي الْمَالِ حُسْنُ التَّقْدِيْرِ، وَفِي الْعِيَالِ حُسْنُ التَّدْبِيْرِ
"Adapun perkara ketujuh dan kedelapan ; (7) menjaga hartanya dan (8) perhatian terhadap kerabatnya dan anak-anaknya. Dan kunci pengurusan harta adalah penempatan harta sesuai ukurannya dan kunci perhatian anak-anak adalah bagusnya pengaturan"
وَأَمَّا التَّاسِعَةُ وَالْعَاشِرَةُ: فَلاَ تَعْصِنَّ لَهُ أَمْرًا وَلاَ تَفْشِنَّ لَهُ سِرًّا، فَإِنَّكِ إِنْ خَالَفْتِ أَمْرَهُ أَوْغَرْتِ صَدْرَهُ، وَإِنْ أَفْشَيْتِ سِرَّهُ لَمْ تَأْمَنِي غَدْرَهُ
"Adapun perkara yang kesembilan dan kesepuluh adalah (9) janganlah sekali-kali engkau membantah perintahnya dan (10) janganlah sekali-sekali engkau menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya maka engkau akan memanaskan dadanya, dan jika engkau menyebarkan rahasianya maka engkau tidak akan aman dari pengkhianatannya"
ثُمَّ إِيَّاكِ وَالْفَرَحَ بَيْنِ يَدَيْهِ إِذَا كَانَ مُهْتَمًّا، وَالْكَآبَةَ بَيْنَ يَدَيْهِ إِذَا كَانَ فَرِحاً.
"Kemudian hati-hatilah engkau jangan sampai engkau gembira tatkala ia sedang bersedih, dan janganlah bersedih tatkala ia sedang bergembira."
Al-'Abaas bin Khoolid As-Sahmi berkata, "Maka kemudian Ummu Iyaas pun melahirkan bagi 'Amr bin Hajr anaknya yang bernama Al-Haarits bin 'Amr, yang ia merupakan kakek dari Umrul Qois penyair dan pujangga yang tersohor."
(Dari kitab Al-'Aqd Al-Fariid karya Al-Faqiih Ahmad bin Muhammad bin Abdi Robbihi Al-Andaluusi, tahqiq : DR Mufiid Muhammad, jilid 7 hal 89-90, Daarul Kutub al-'Ilmiyah, cetakan pertama, tahun 1983)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 04-03-1433 H / 27 Januari 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

DIALOG ASWAJA - SYIAH vs WAHABI tentang BID'AH HASANAH

Aswaja : Hari ini 12 rabiul awwal sungguh aku sangat bahagia loh….

Syiah
: Emang lu kenape?, kemarin-kemarin kurang bahagia?

Aswaja : Kagak gitu bro, hari ini gua ngerayain hari maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Gua sangat gembira dengan hari lahirnya nabi

Syi’ah
: Kalau gua …..gua sangat sedih pas hari 10 Muharram lalu….hik hik hik…jadi nangis gua ngingatnya…hik

Aswaja : Emang kenapa lu nangis??!

Syi’ah
: Soalnya hari itu hari terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Tholib, kami kerukunan warga syi’ah memperingati hari tersebut dengan hari ratapan. Bahkan sebagian kami sampai memukulkan pedang di tubuh kami sehingga mengeluarkan darah.

Aswaja : Loh…lu lu kok pada ngeri buanget sih…sampai acara melukai tubuh segala. Emang itu disyari’atkan?, setahu ku aswaja tidak melakukannya

Syi’ah : Jelas sangat disyari’atkan…., bukankah kalian keluarga aswaja juga sangat cinta kepada Husain?, apakah kalian tidak bersedih dengan terbunuhnya Husain secara tragis pada tanggal 10 Muharrom?

Aswaja : Iya ….kami jelas sangat cinta pada Husain…tapikan acara seperti yang kalian lakukan itu tidak ada syari’atnya??

Syi’ah : Justru sangat disyari’atkan sebagai bentuk bela sungkawa dan turut berduka cita atas kematian Husain. Sekali lagi…kalau kalian mengaku cinta kepada Husain mestinya lu lu pade semuanya juga ikut berpartisipasi meramaikan acara kami. Kalau kalian tidak ikut berpartisipasi maka pengakuan kalian mencintai Husain hanyalah OMONG KOSONG BELAKA !!!!

Aswaja : Kok bisa begitu???, Kan Para sahabat tidak pernah melakukannya?, kan Nabi tidak pernah menganjurkannya??, kan tidak pernah dilakukan oleh orang-orang sholeh terdahulu !!!

Syi’ah : Meskipun tidak pernah dicontohkan Nabi tapi kan yang penting baik?? Bisa menambah kecintaan kita kepada cucu Nabi yaitu Husain !!!. Loh kalian juga kenapa ngadain acara mauludan? Wong Nabi juga tidak pernah ngadain mauludan?

Aswaja : Memang sih…tapi kan itu baik sekali?, acara mauludan kan bisa menambahkan kecintaan kepada Nabi?

Syi’ah : Lah sama saja dengan kita-kita dong….wong kita juga ngadain acara ratapan pada 10 Muharrom kan juga menambahkan rasa cinta kepada Husain

Aswaja : Tapi cara kalian buruk, pake acara mukul-mukul badan segala?, sampai darah lagi?

Syi’ah : loh…buruk itu menurut lu…menurut gua sangat baik…justru dengan seperti itu semakin mendalam kecintaan kami kepada Husain…semakin kami merasakan derita yang dirasakan Husain dan keluarganya.

Loh kalian juga merayakan maulud Nabi, kan itu buruk, karena harus mengeluarkan biaya, kadang campur laki-laki perempuan, dll?

Aswaja : loh itu buruk menurut lu pade, tapi menurut kami justru itu sebagai indikasi dan barometer rasa kecintaan kepada kanjeng Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syi’ah : Wah kita kagak usah ribut deh…kita ternyata sama loh….

Aswaja : Sama apaan?

Syi’ah : Banyak kesamaan kita :

-         Pertama : Acara mauludan dan acara ratapan 10 Muharam sama-sama tidak ada contohnya dari Nabi.

-         Kedua : Acara perayaan ini sama-sama dibangun karena rasa cinta kepada Nabi atau kepada Husain.

-         Ketiga : acara ini sama-sama mendatangkan kebaikan, meskipun kebaikannya sih bersifat relatif. Yang penting sih baik menurut masing-masing yang merayakannya.

Aswaja : Betul betul betul…tapi….tuh orang-orang wahabi ngatain acara-acara kita ini acara bid’ah??

Syi’ah
: Biarin aja mereka-mereka kaum wahabi…toh bid’ah kita kan bid’ah hasanah

Aswaja : Betul…betul…betul…ternyata kita sepakat dalam perkara yang sangat penting, yaitu semua perkara yang kita anggap baik (meskipun dianggap jelek oleh orang/pihak) lain, serta meskipun tidak pernah dilakukan dan dianjurkan oleh Nabi maka itu adalah bid’ah hasanah sangat dianjurkan.



WAHABI : Wahai akhi aswaja…tidakkah lu tahu bahwasanya mauludan itu mengakibatkan banyak kemudhorotan??!, diantaranya :

-         Pertama : Tanggal kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih diperselisihkan, akan tetapi hampir merupakan kesepakatan para ulama bahwasanya Nabi meninggal pada tanggal 12 Rabi'ul awwal. Oleh karenanya pada hekekatnya perayaan dan bersenang-senang pada tanggal 12 Rabi'ul Awwal merupakan perayaan dan bersenang-senang dengan kematian Nabi

-         Kedua : Acara perayaan kelahiran Nabi pada hakekatnya tasyabbuh (meniru-niru) perayaan hari kelahiran Nabi Isa yang dilakukan oleh kaum Nashrani. Padahal Nabi bersabda مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ "Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut"

-         Ketiga : Kelaziman dari diperbolehkannya merayakan hari kelahiran Nabi adalah diperbolehkan pula merayakan hari kelahiran Nabi-Nabi yang lain, diantaranya merayakan hari kelahiran Nabi Isa. Jika perkaranya demikian maka sangat dianjurkan bahkan disunnahkan bagi kaum muslimin untuk turut merayakan hari natal bersama kaum Nashrani

-         Keempat : Bukankah dalam perayaan maulid Nabi terkadang terdapat kemungkaran, seperti ikhtilat antara para wanita dan lelaki?, bahkan di sebagian Negara dilaksanakan acara joget dengan menggunakan music?, bahkan juga dalam sebagian acara maulid ada nilai khurofatnya dimana sebagian orang meyakini bahwa Nabi ikut hadir dalam acara tersebut, sehingga ada acara berdiri menyambut kedatangan Nabi. Bahkan dalam sebagian acara maulid dilantunkan syai'ir-sya'ir pujian kepada Nabi yang terkadang berlebih-lebihan dan mengandung unsur kesyirikan

-         Kelima : Acara perayaan maulid Nabi ini dijadikan sarana oleh para pelaku maksiat untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada Nabi. Sehingga tidak jarang acara perayaan maulid Nabi didukung oleh para artis –yang suka membuka aurot mereka-, dan juga dihadiri oleh para pelaku maksiat. Karena mereka menemukan sarana untuk menunjukkan rasa cinta mereka kepada Nabi yang sesuai dengan selera mereka. Akhirnya sunnah-sunnah Nabi yang asli yang prakteknya merupakan bukti kecintaan yang hakiki kepada Nabipun ditinggalkan oleh mereka. Jika diadakan perayaan maulid Nabi di malam hari maka pada pagi harinya tatkala sholat subuh maka mesjidpun sepi. Hal ini mirip dengan perayaan isroo mi'rooj yang dilakukan dalam rangka mengingat kembali hikmah dari isroo mi'rooj Nabi adalah untuk menerima perintah sholat lima waktu. Akan tetapi kenyataannya betapa banyak orang yang melaksanakan perayaan isroo' mi'rooj yang tidak mengagungkan sholat lima waktu, bahkan tidak sholat sama sekali. Demikian juga perayaan nuzuulul qur'an adalah untuk memperingati hari turunnya Al-Qur'aan akan tetapi kenyataannya betapa banyak orang yang semangat melakukan acara nuzulul qur'an ternyata tidak perhatian dengan Al-Qur'an, tidak berusaha menghapal Al-Qur'an, bahkan yang dihafalkan adalah lagu-lagu dan musik-musik yang merupakan seruling syaitan

-         Keenam : Kelaziman dari dibolehkannya perayaan maulid Nabi maka berarti dibolehkan juga perayaan-perayaan yang lain seperti perayaan isroo' mi'rooj, perayaan nuzuulul qur'aan dan yang lainnya. Dan hal ini tentu akan membuka peluang untuk merayakan acara-acara yang lain, seperti perayaan hari perang badr, acara memperingati hari perang Uhud, perang Khondaq, acara memperingati Hijrohnya Nabi, acara memperingati hari Fathu Mekah, acara memperingati hari dibangunnya mesjid Quba, dan acara-acara peringatan yang lainnya. Hal ini tentu akan sangat menyibukkan kaum muslimin. (lihat kembali : http://firanda.com/index.php/artikel/manhaj/92-semua-bidah-adalah-kesesatan)

Adapun anda akhi syi’ah tahukah anda bahwa perbuatan anda meratapi hari kematian Husain itu mengandung kemudhorotan, diantaranya :

-         Pertama : Hal ini bertentangan dengan al-quran dan hadits-hadits Nabi yang memerintahkan kita untuk bersabar tatkala menghadapi musibah dan menyerahkan semuanya kepada Allah.

-         Kedua : Juga bertentangan dengan hadits-hadits yang melarang merobek-robek baju dan menampar-nampar pipi tatkala terjadi musibah

-         Ketiga : Acara seperti ini bertentangan dengan sunnah Nabi yang menganjurkan kita untuk berpuasa pada tanggal 10 muharrom

-         Keempat : Metode seperti ini menjadikan kaum non muslim semakin benci dan antipati kepada Islam jika Islam modelnya seperti ini



Syi’ah & Aswaja (kompak) : Waaah itu buruk menurut kamu wahai bang wahabi…menurut kami kerukunan warga aswaja mauludan itu baik dan menurut syi’ah acara 10 muharrom itu baik

Wahabi : Kalau begitu yang menjadikan patokan untuk menentukan baik buruknya perkara siapa dong?. Bukankah aswaja memandang acara memukul-mukul tubuh pada 10 muharrom itu merupakan perkara yang buruk.

Syi’ah
: Yaaa… masing-masing berjalan menurut perasaannya !!!

Wahabi : Kalau tidak ada yang menjadi patokan untuk menentukan kebaikan maka seluruh kelompok sesat dalam barisan kaum muslimin harus kita terima, karena setiap kelompok memandang baik bid’ah yang mereka ada-adakan. Thoriqoh At-Tijaaniyah, memandang thoriqoh merekalah yang terbaik…, toriqoh As-Syadziliyah Al-Qoodiriyah yang beribadah sambil joget juga memandang bid'ah mereka yang terbaik? (lihat : http://www.youtube.com/watch?v=E0nKMIHA0kA&feature=player_embedded), wihdatul wujud memandang aqidah merekalah yang terbaik…, bahkan Ahmadiah memandang bid’ah mereka di atas kebaikan.

Terus kaum wahabi yang kalian anggap sesat juga memandang apa yang mereka dakwahkan (mengembalikan kaum muslimin kepada pemahaman para sahabat) adalah yang terbaik. Jika masing berhak menentukan penilaian baik maka semua kelompok dan sekte agama adalah baik. Padahal kelompok-kelompok tersebut saling berseteru. Maka membenarkan semua bid'ah hasanah mereka melazimkan berkumpulnya dua hal yang saling bertentangan…. Seperti berkumpulnya timur dan barat, utara dan selatan !!.

Bukankah Aswaja menganggap sikap syi'ah yang mengkafirkan para sahabat merupakan bid'ah yang buruk??!!

Aswaja : Yaa itu benar…mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan para sahabat adalah bid'ah yang buruk dan tercela..

Syi'ah
: Tunggu dulu akhi aswaja…itu sih menurutmu, adapun menurut kami kerukunan warga Syi'ah maka mengkafirkan para sahabat merupakan bid'ah hasanah, karena mengkafirkan para sahabat Nabi merupakan bentuk pembelaan dan kecintaan kepada Ahlul Bait, pembelaan kepada Ali bin Abi Tholib dan keturunannya yang berhak memegang tampuk kepemimpinan. Hanya saja Abu Bakar dan Umar tamak dan rakus terhadap kepemimpinan dan telah berkhianat terhadap washiat Rasulullah !!!.

Syi'ah : akhi aswaja…saya harap anda menghormati pendapat dan aqidah kami kerukunan warga syi'ah yang mengkafirkan para sahabat. Bukankah para pimpinan kalian juga toleransi dengan aqidah kami ini??. Jangankan toleransi terhadap kami warga syi'ah…bukankah para pemimpin kalian juga toleransi terhadap kaum nasharani yang merayakan hari kelahiran Tuhan mereka??, jangan lupa ini akhi aswaja !!!

Aswaja : iya..iyaa..betul..betul…hampir-hampir aku terhasut oleh tipuan si bang wahabi !!! salam sejahtera wahai akhi syi'ah.

Wahabi : Akhi aswaja…jangan lupa mereka warga syi'ah juga memiliki perayaan-perayaan yang lain, mereka juga merayakan hari meninggalnya ibu kita Aisyah radhiallahu 'anhaa dengan menyatakan bahwa Aisyah seorang pezina…Aisyah masuk neraka…?? (lihat : http://www.youtube.com/watch?v=yRyqscRd6aY&feature=related), apakah engkau tidak marah dengan sikap mereka itu??. Jangan lupa juga akhi aswaja…mereka kaum syiah juga merayakan hari meninggalnya Umar bin Al-Khottoob radhiallahu 'anhu, mereka gembira dengan wafatnya Umar, bahkan mereka memuja-muja Abu Lu'lu' yang telah membunuh Umar? (lihat : http://www.alserdaab.org/articles.aspx?article_no=732), apakah engkau sebagai anggota kerukunan warga aswaja masih menghormati pendapat syi'ah??

Aswaja : Wah…gua bingung jadinya…

Syi'ah
: Akhi Aswaja…jangan kau terpedaya dengan igauan bang wahabi…, perayaan-perayaan tersebut menurut kami adalah bid'ah hasanah. Ingatlah kesamaan kita banyak…ingat kita harus toleransi…ingat bahwa wahabi adalah musuh kita bersama !!!!

Aswaja : Ya..ya.. akhi syi'ah..bagaimanapun kita sama…dan banyak samanya…terutama dalam masalah bid'ah hasanah…. Syukron atas peringatannya….kita harus bersepakat untuk memusuhi wahabi…sekali lagi kita harus bersepakat. Jangan sampai kita termakan hasutan para wahabi !!!

Wahabi : Yaa sudah kalau begitu….semoga Allah memberi hidayah kepada kalian suatu hari. Aaamiiin

Aqidah Syi'ah Mencela Sahabat = Mencela Qur'an = Mencela Hadits = Mencela Allah = Mencela Nabi = Mencela Ahlul Bait

Mencela, melaknat dan mengkafirkan para sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah ibadah yang sangat mulia di sisi kaum yang beragama Syi'ah. Kalau dahulu mereka bertaqiyah (baca berdusta) menyembunyikan aqidah busuk mereka terhadap para sahabat, akan tetapi kebusukan mereka itu terungkap juga, bahkan mulai banyak dari tokoh-tokoh mereka yang terang-terangan mencaci maki dan melaknat para sahabat, (silahkan baca kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/30-sekte-sesat/65-bau-busuk-syiah-akhirnya-tercium-juga, lihat juga tulisan al-akh al-kariim al-Ustadz Abul Jauzaa' di http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/01/syiah-itu-sesat-juragan-sebuah-masukan.html)
'Aaamir bin Syarahbil As-Sya'bi rahimahullah (salah seorang imam dari para tabi'in yang bertemu dengan sekitar 500 sahabat, dan beliau wafat tahun 103 H) berkata:


وَفَضُلَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى عَلَى الرَّافِضَةِ بِخَصْلَتَيْنِ : سُئِلَتِ الْيَهُوْدُ مَنْ خَيْرُ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوا : أَصْحَابُ مَوْسَى، وَسُئِلَتِ الرَّافِضَةُ : مَنْ شَرُّ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوْا : أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ، وَسُئِلَتِ النَّصَارَى : مَنْ خَيْرُ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوْا : حَوَارِيُّ عِيسَى، وَسُئِلَتِ الرَّافِضَةُ : مَنْ شَرُّ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوْا : حَوَارِيُّ مُحَمَّدٍ، أُمِرُوا بِالاِسْتِغْفَارِ لَهُمْ فَسَبُّوْهُمْ

"Kaum Yahudi dan Nashoro lebih mulia dari pada kaum syi'ah dari dua sisi. (*Pertama :) Kaum yahudi ditanya, "Siapakah umat kalian yang terbaik?", mereka menjawab, "Para sahabat Musa". Dan kaum Rofidhoh ditanya, "Siapakah kaum terburuk dari umat kalian?", mereka menjawab, "Para sahabat Muhammad". Dan kaum Nashooro ditanya, "Siapakah umat kalian yang terbaik?", mereka menjawab, "Para pengikut setia 'Isa", dan kaum Rofidhoh ditanya, "Siapakah dari umat kalian yang terburuk?", mereka menjawab, "Para pengikut (sahabat) setia Muhammad".(*Kedua :) Mereka (kaum Rofidhoh) diperintahkan untuk memohonkan ampun bagi para sahabat malah mereka mencela para sahabat" (*berbeda dengan kaum yahudi dan nashoro yang malah memuji dan mendoakan para sahabat Musa dan sahabat Isa-pent) (Syarh Ushuul I'tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah, karya Al-Laalikaai hal 1462-1463, dinukil juga oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya pada tafsir surat Al-Hasyr ayat 10)
Asy-Sya'bi mengisyaratkan firman Allah
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٠)

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang"
(QS Al-Hasyr : 10).


Sesungguhnya konsekuensi dari mencela dan melaknat para sahabat serta meyakini bahwa mayoritas mereka telah kafir sangatlah berbahaya, diantaranya:


PERTAMA : Melazimkan timbulnya keraguan terhadap Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena para sahabatlah yang telah meriwayatkan kepada kita Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Jika ternyata para perawinya adalah orang-orang fasik, terlaknat, bahkan murtad maka tentunya sangat diragukan kebenaran apa yang mereka riwayatkan, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Karenanya mereka berkeyakinan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam Al-Qur'an, diselewengkan oleh para sahabat !!!


KEDUA :  Keyakinan ini melazimkan bahwa umat ini adalah umat yang terburuk yang Allah keluarkan bagi manusia. Karena nenek moyang mereka (yaitu para sahabat) adalah orang-orang murtad, sehingga kita sekarang telah mengambil agama kita dari ajaran kaum murtad. Padahal Allah telah berfirman tentang para sahabat :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia"
(Qs Ali Imron : 110)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menekankan hal ini dalam sabdanya;

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي

"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu para sahabat)"
(Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)


KETIGA : Konsekuensi dari keyakinan busuk ini adalah mencela Allah. Karena keyakinan kafirnya mayoritas para sahabat mengandung tiga kemungkinan.

Pertama : Allah adalah Jahil, sehingga memuji para sahabat dengan pujian yang luar biasa dalam Al-Qur'an yang akan dibaca oleh kaum muslimin hingga hari kiamat kelak, padahal mereka para sahabat akan murtad. Namun Allah tidak mengetahui akan kemurtadan mereka sehingga memuji para sahabat.

Kedua : Allah telah mengetahui bahwasanya para sahabat akan murtad, akan tetapi Allah tetap saja memuji mereka. Ini menunjukan Allah telah melakukan perkara yang sia-sia tanpa faedah. Apa faedah Allah memuji suatu kaum yang akan murtad??

Ketiga : Jika Allah telah mengetahui para sahabat akan murtad lantas tetap memuji mereka bukankah ini berarti Allah menghendaki hamba-hambanya sesat sebagaimana para sahabat??!!


KEEMPAT : Keyakinan busuk ini juga mencela hikmah Allah yang telah memilih kaum yang akan murtad menjadi para sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan Nabi menikah dengan Aisyah putri Abu Bakar dan juga Hafsoh putri Umar bin Al-Khotthoob. Serta Nabi menikahkan kedua putrinya (Ruqoyyah dan Ummu Kaltsuum) dengan Utsmaan bin 'Affaan. Bagaimana bisa kok Allah menjadikan para sahabat, para penolong Nabi dan juga sebagai keluarga Nabi dari kaum yang akan murtad??!!


KELIMA : Keyakinan busuk ini melazimkan pencelaan terhadap syari'at Islam. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah berjuang dengan keras selama 23 tahun untuk mendidik para sahabat agar menjadi masyarakat tauladan. Akan tetapi kaum syi'ah rofidhoh menyatakan bahwa perjuangan Nabi untuk mentarbiah para sahabatnya selama kurang lebih 23 tahun adalah perjuangan yang sia-sia. Tidak ada yang berhasil Nabi didik kecuali sekitar 4 orang atau kurang dari 10 orang. Adapun ratusan para sahabat yang lain semuanya langsung murtad begitu wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hal ini melazimkan perkara yang sangat fatal, yaitu timbulnya keputusasaan untuk membina umat manusia dengan syari'at Islam. Jika syari'at yang dibawa bahkan dipraktekan oleh manusia terbaik (yaitu Nabi) dengan bentuk praktek tarbiyah/mendidik yang terbaik dengan waktu yang puluhan tahun itupun tidak bisa mendidik dan menciptakan suatu generasi yang sholeh…bahkan menimbulkan generasi yang murtad…??!! ini menunjukkan bahwa manhaj/syari'at Islam tidak mampu untuk mentarbiyah/mendidik umat manusia.


KEENAM : Hal ini juga menimbulnya keraguan akan kenabian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena jika sang pembawa Risalah dengan bimbingan Allah dalam waktu yang lama tidak mampu mendidik suatu kaum maka sangatlah diragukan kenabiannya.

Kalau memang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam benar dalam pengakuannya sebagai Nabi tentunya dakwahnya akan memberikan pengaruh kepada masyarakat/kaum yang ia dakwahi. Tentunya kaum yang dia dakwahi akan menerima dakwahnya dengan sepenuh hati. Akan tetapi kenyataannya malah mereka menjadi murtad??, masyarakat yang ia dakwahi tidak bisa mengambil manfaat darinya. Lantas bagaimana mungkin ia diutus sebagai rahmatan lil 'aalamiin (rahmat bagi seluruh alam)??!! (silahkan rujuk risalah I'tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah fi As-Shohaabah karya DR Al-Wuhaibi, hal 42-45)

Imam Malik berkata

إنما هؤلاءِ أقوامٌ أرادوا القدحَ في النبيِّ صلى الله عليه وسلم فلَمْ يُمكنهم ذلك , فقدَحُوا في أصحابه حتى يُقال : رجلُ سوءٍ ، ولو كانَ رجلاً صالحاً لكانَ أصحابهُ صالحين

"Sesungguhnya mereka adalah kaum yang ingin mencela Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi hal itu tidak memungkinkan mereka, maka merekapun mencela para sahabat Nabi, agar dikatakan : Muhammad adalah seorang lelaki yang buruk, kalau seandainya ia adalah seorang lelaki yang sholeh tentunya para sahabatnya juga kaum yang sholeh" (Risaalah fi sabb As-Shohaabah hal 47)


KETUJUH : Tatkala kaum agama Syi'ah Roofidoh mengkafirkan Ummul Mukminin Aisyah, bahkan menyatakannya sebagai wanita pezina maka hal ini sesungguhnya merupakan celaan keras bagi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai sang suami. Allah telah berfirman

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (٢٦)

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)" (QS An-Nuur : 26)

Allah menyatakan dalam ayat ini bahwa wanita-wanita keji (pezina) hanyalah buat para lelaki pezina pula. Menuduh Aisyah sebagai wanita kafir bahkan pezina sangatlah menyakitkan hati Rasulullah sebagai seorang suami. Bahkan terkadang lebih menyakitkan bagi seorang suami jika istrinya dikatakan pezina daripada dirinya sendiri yang dituduh berzina, karena hal ini melazimkan bahwasanya seorang suami telah rela dan betah tinggal bahkan seranjang dengan seorang pezina !!!.

Karenanya tatkala terjadi peristiwa al-ifk (yaitu dituduhnya Aisyah berzina dengan Shofwan bin Mu'atthol As-Sulami) maka Nabipun sangat tersakiti, sampai-sampai beliaupun mengeluhkan hal tersebut kepada para sahabat. Beliau berkata:

مَنْ يَعْذُرُنِي مِنْ رَجُلٍ قَدْ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِي أَهْل بَيْتِي؟

"Siapakah yang menolongku untuk membalas yang telah menyakiti ahli baiti (istriku)?"
(HR Al-Bukhari no 4750 dan Muslim no 2770, lihat syarah hadits ini di Fathul Baari 8/470)

Maka berkatalah Sa'ad bin Mu'aadz radhiallahu 'anhu pun berdiri dan berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ : أَنَا وَاللهِ أَعْذُرُكَ مِنْهُ إِنْ كَانَ مِنَ الأَوْسِ ضَرَبْنَا عُنُقَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ إِخْوَانِنَا مِنَ الْخَزْرَجِ أَمَرْتَنَا فَفَعَلْنَا فِيْهِ أَمْرَكَ

"Wahai Rasulullah, demi Allah saya yang akan menolongmu terhadap orang tersebut, jika dia dari suku Al-Aus maka kami akan memenggal lehernya, dan jika ia berasal dari saudara-saudara kami suku Al-Kozroj maka silahkan perintahkan kepada kami apa yang harus kami lakukan padanya maka kami akan menjalankan perintahmu"

Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari perkataan S'ad bin Mu'adz yang sangat menggebu-gebu ini.


KEDELAPAN : Mengkafirkan para sahabat mulia seperti Abu Bakar dan Umar sesungguhnya merupakan celaan kepada Ali Bin Abi Thoolih radhiallahu 'anhu. Hal ini nampak dari beberapa sisi :

Pertama : Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu menamakan beberapa putranya dengan nama-nama sahabat, yang menunjukkan kecintaan Ali kepada mereka.

Nama merupakan perkara yang penting, karenanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan sebagian sahabat untuk merubah nama-nama mereka yang mengandung makna yang buruk. Terlebih lagi nama seorang anak sangatlah bermakna bagi orang tuanya. Orang tua akan berusaha memilihkan nama yang baik bagi anaknya. Bahkan dari nama seorang anak kita akan tahu pola berfikir atau aliran yang dianut oleh sang ayah, karena kerap kali sang ayah memberi nama anaknya dengan nama tokoh yang ia kagumi. Jika sang ayah sedang gandrung pada seorang artis maka iapun menamakan anaknya dengan nama artis tersebut, jika sang ayah sedang gandrung dan kagum dengan salah seorang tokoh agama maka iapun menamakan sang anak dengan nama tokoh tersebut. Tidak ada sejarahnya seorang ayah menamakan anaknya dengan nama tokoh yang ia benci dan ia laknati. Karenanya tidak seorangpun dari Yahudi dan Nasrani yang menamakan anaknya dengan nama Muhammad, karena kebencian mereka kepada Muhammad. Dan tidak ada seorangpun dari kaum muslimin yang menamakan anaknya dengan nama Abu Jahl, atau Abu Lahab, atau Fir'aun…karena kebencian kaum muslimin kepada mereka.

Ternyata….Ali bin Abi Thoolib radhiallahu 'anhu memiliki anak-anak yang bernama Abu Bakar bin Ali, Umar bin Ali, dan Utsman bin Ali, hal ini tentunya karena begitu cintanya beliau kepada Abu Bakar, Umar dan Utsman maka. Ketiga putra beliau tersebut termasuk orang-orang yang meninggal tatkala peristiwa karbala bersama saudara mereka yang terbunuh Al-Husain bin Ali radhiallahu 'anhumaa.

Demikian pula ternyata Al-Hasan bin Ali telah menamakan sebagian anak-anaknya dengan nama Abu Bakr, Umar, dan Tolhah. Yang ketiga putranya tersebut juga terbunuh dalam peristiwa karbala.

Demikian pula halnya dengan Al-Husain beliau memiliki seorang putra yang bernama Umar.

Demikian pula halnya dengan Ali bin Al-Husain bin Ali telah menamakan putrinya dengan nama Aisyah, serta menamakan salah seorang putranya dengan nama Umar !!! 

Kedua : Ali menikahkan putrinya Ummu Kaltsum dengan Umar bin Al-Khottoob, maka apakah Ali menikahkan putrinya dengan seorang toghuut…sungguh ini merupakan perbuatan seorang ayah yang tidak tahu diri bahkan menjerumuskan putrinya pada kesesatan bahkan kekafiran !!!.

Jika kita memiliki seorang putri maka apakah kita akan rela menikahkannya untuk hidup bersama bahkan seranjang dengan seorang fasiq dan mujrim??, apalagi dengan seorang kafir yang mujrim??!!. Lantas jika Umar bin Al-Khottoob adalah seorang kafir murtad yang mujrim maka kenapa begitu teganya Ali menikahkan putrinya dengan Umar??!!. Bukankah Ali mengetahui bahwa tidak boleh seorang wanita muslimah menikah dengan seorang lelaki dari Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani)??, apalagi dengan seorang lelaki yang murtad ??!!! Ataukah Ali menikahkan putrinya karena takut kepada Umar?? Ini merupakan celaan terhadap keberanian Ali yang sangat masyhuur. (Lihat pembahasan tentang dua poin di atas yang telah diakui oleh para ulama syi'ah sendiri dalam risalah Ruhamaa'u Bainahum karya Sholeh bin Abdillah Ad-Darwiisy)

Ketiga : Ali sangatlah terkenal pemberani…, lantas bagaimana bisa beliau selama berpuluh-puluh tahun (sejak masa pemerintahan Abu Bakar hingga berakhir pemerintahan Utsman bin 'Affaan) hanyalah berdiam diri, tidak menjelaskan kepada umat bahwasanya beliaulah yang berhak yang menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi !!!, kenapa beliau pula tidak berani berucap satu patah katapun untuk menjelaskan kepada umat bahwasanya Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah orang-orang kafir !!!, kenapa beliau berdiam diri membiarkan kaum muslimin dipimpin oleh orang-orang kafir??!!, sungguh ini benar-benar menunjukkan sikap pengecut yang luar biasa pada diri Ali !!!.

Keempat : Bahkan Ali akhirnya membaiat Abu Bakar radhiallahu 'anhu. Jika memang Abu Bakar kafir maka tentunya sikap Ali adalah pengkhianatan dan penipuan terhadap umat karena ia telah membaiat seorang kafir !!!


KESEMBILAN : Jika Mu'aawiyah adalah kafir (bahkan termasuk manusia yang paling kafir menurut syi'ah) maka sikap Al-Hasan yang menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Mu'aawiyah yang kafir merupakan bentuk pengkhianatan terbesar dalam sejarah terhadap Islam dan kaum muslimin. Maka ini jelas pencelaan yang besar kepada Al-Hasan bin Ali radhiallahu 'anhumaa.


KESEPULUH : Karena kebencian Syiah dan pengkafiran mereka kepada Utsaman bin Afaan maka sebagian ulama besar syi'ah mengingkari bahwa kedua istri Utsman (Ruqooyah dan Ummu Kultsuum) adalah putri-putri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengatakan bahwa Ummu Kaltsuum dan Ruqoyyah adalah putri-putri Khodijah dari suami sebelum menikah dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan sebagian ulama syi'ah meragukan adanya dua putri Nabi yang bernama Ruqoyyah dan ummu Kaltsuum. Semua ini akibat kebencian dan pengkafiran mereka terhadap Utsman bin 'Affaan sehingga akhirnya mereka mencela Ahlul Bait putri-putri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (Untuk melihat nukilan-nukilan perkataan para ulama syi'ah silahkan melihat kitab Al-Aqidah fi Ahlil Bait, karya DR Sulaiman As-Suhaimi, 2/527-530)



PENUTUP :

Wahai kaum syi'ah…renungkanlah…apakah para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar yang :

-         Telah rela hidup susah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan penuh intimidasi dari kaum kufar Quraisy tatkala mereka di Mekah…

-         Telah rela mengorbankan seluruh hartanya…

-         Telah rela meninggalkan kampung halamannya…

-         Abu Bakar telah rela menemani perjalanan hijroh Nabi yang terancam dengan kematian…

-         Telah rela ikut berperang dalam banyak peperangan demi untuk membela Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam…

Namun begitu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah meninggal dan mereka telah hidup di masa kejayaan Islam lantas kemudian mereka murtad???.

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 15-02-1433 H / 09 Januari 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

CARA KEKHOLIFAHAN UMAR

(( BUKAN SEKEDAR CERITA BIASA

Abdullah Mubarok Rahimahullah meriwayatkan dalam kitabnya az-Zuhd,
"Suatu ketika Umar bin Khoththob mengambil 400 keping uang dinar (kurang lebih 1,7 kg emas). lalu ia memasukannya ke dalam sebuah pundi. Kemudian ia berkata kepada budaknya, "Berikan ini kepada Ubu Ubaidillah, lalu berdiamlah sebentar dirumahnya, cari tahu apa yang dia lakukan dengan pundi tersebut !

kemudian budak itu pergi membawa pundi itu kepada Abu Ubaidillah, seraya berkata, "Ini hadiah dari Amirul Mukminin untuk memenuhi kebutuhanmu !

Abu Ubaidillah menerimanya, lalu berkata : "Semoga Allah merahmati Amirul Mukminin".

Lalu Abu Ubaidillah memanggil budaknya dan berkata, : "berikan 7 keping uang ini kepada si fulan, 5 keping kepada si fulan, hingga habis uang 400 keping saat itu juga.

lalu budak Umar pulang dan melaporkan apa yang ia saksikan.

kemudian Umar melakukan hal yang sama kepada Mu'adz bin Jabal. Mua'adz menerima hadiah khilapah saraya berkata : "Semoga Allah merahmati Kholifah (Umar bin Khottob).

lalu Mu'adz memanggil budaknya dan berkata : "Berikan sekian untuk rumah si fulan, dan sekian untuk rumah si fulan".

Istri Mu'adz muncul dan berkata : "kita juga orang miskin berikanlah bagian untuk keluargamu".
Mu'adz melihat isi pundinya, ternyata hanya tersisa 2 dinar, lalu ia berikan untuk istrinya.

budak Umar pulang dan melaporkan hasil persaksiannya. Mendengar berita itu Umar gembira, saraya berkata, "Mereka (sahabat Nabi) adalah saudara, satu dan lainnya mereka memiliki akhlak yang sama.

(DR. Abdussalam al-Isa, Syakhshiyatu Umar bin Khottob wa Siyasatuhu al Idariyyah, II, hal 631)

itu penggalan cerita dari sekian cerita yang menggambarkan, bagaimana para sahabat Nabi tidak menjadikan harta berada dihatinya, tapi mereka letakan harta digenggaman tangannya, maka kalaulah ingin melihat bagaimana cara hidup sesuai syari'at yang benar. Maka contohlah Rasulullah dan shahabatnya.

kiranya cerita tersebut bukan dari jalur sanad dan riwayat yang benar, melihat kondisi kehidupan sekarang, apa yang mereka lakukan bak dongen pengantar tidur. maka benar apa yang Rasulullah sabdakan : عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي , ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ,sebaik-baiknya manusia (Shahabat) adalah pada masaku, kemudian setelahnya (tabi'in) kemudian setelahnya (Tabiut tabi'in) .......صَحِيحٌ أَخْرَجَهُ الشَّيْخَانِ

Wallahu A'lam, moga manfaat.